[Gibran&Mamas]

0 0 0
                                    

Pov gibran

Aku kembali lagi ke tempat ini. Tempat dimana segala kenangan indah ada di sini, tempat dimana sebuah keluarga kecil pernah saling menghangatkan, tempat dimana aku dan mamas mendapatkan segala peran dan kasih dari kedua orang tua kami.

Kini, tempat ini terasa sepi dan hampa. Tak ada lagi ibu yang akan membangunkan kami dan menyiapkan sarapan untuk anggota keluarganya setiap pagi. Tak ada lagi ayah yang selalu menggoda kedua anaknya di depan ibu. Tak ada lagi yang akan merengkuhku dan mamas ketika kami lelah setelah seharian bergelut dengan dunia kami.

Ibu dan ayah berpisah, dan kini ibu dipindah tugaskan ke padang untuk jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Kini, aku dan mamas harus kembali lagi kerumah ayah tanpa sosok ibu yang akan menemani kami disini.

Malam itu, saat ibu membicarakan tentang dirinya yang harus dipindah tugaskan ke padang, sebenarnya hatiku sangat berat untuk memutuskan satu hal yang belum pernah aku lalui selama ini, yaitu harus hidup berpisah dengan ibu.

Kalau saja aku tak memberatkan pendidikanku disini, aku akan langsung setuju untuk ikut beliau pindah ke tempat kelahirannya. Tapi sayangnya aku memberatkan pendidikanku disini. Sebenarnya, mau dimanapun kita menuntut ilmu, tak akan ada bedanya jika memang kita sudah benar-benar niat.

Entahlah, sebenarnya tak mau pindah kuliah itu hanya kedok untuk menutupi rasa iba ku kepada ayah yang harus hidup sendiri disini dengan rasa sakit yang tak pernah sembuh itu.

Tapi aku sudah terlanjur mengutarakan keputusanku kepada ibu malam itu. Meskipun ibu selalu bilang kalau pintu rumahnya akan selalu terbuka untukku dan mamas, apabila kami berdua berubah pikiran ingin ikut ibu ke padang. Tapi aku tak berniat pindah kesana karna memang sangat berat rasanya kalau harus meninggalkan ayah sendirian disini.

Mamas juga bilang kalau ia masih mau tinggal di jakarta untuk sementara waktu, itu berarti ada kemungkinan juga mamas akan ikut ibu pindah ke padang suatu hari nanti.

Tak masalah, semuanya harus adil

19.00 (rumah ayah)

Aku benar-benar merasa sepi disini. Meskipun rumah milik ayah hanya punya dua lantai, tapi rumah ini lumayan besar dan luas jika dibandingkan dengan rumah ibu yang ada di jagakarsa.

Aku hanya duduk santai di ruang keluarga. Setelah pulang dari kuliah tadi sore, aku sedang tak ingin pergi kemanapun meskipun teman-temanku sempat mengajakku untuk berkunjung ke sebuah caffe baru milik kakak raffael yang ada di sebrang kampus.

Meskipun mbak sani bekerja kembali di rumah ayah, tapi beliau tak pernah menginap. Beliau hanya bekerja dari pukul 08.00-17.00, jika semua pekerjaan rumah sudah beres, beliau akan kembali pulang ke rumahnya yang jaraknya tak jauh dari rumah ayah.

Jujur saja aku sangat bosan disini. Rumah sebesar ini hanya akan dihuni oleh aku dan ayah. Meskipun terkadang mamas memang menginap disini, tapi tetap saja kan kalau mamas 24/7 lebih sering menghabiskan waktunya di kost dan studio tempatnya bekerja.

Bermain ponsel? Sudah, bermain PS? sudah juga, tugas? Aku tak ada tugas hari ini, menonton tv? Aku tak terlalu menyukai tayangan di dalam televisi, aku bingung sekarang harus melakukan kegiatan apa lagi.

Aku berniat memejamkan mataku meskipun belum mengantuk. Sembari menunggu ayah pulang kerja malam ini. Ayah sudah bilang padaku bahwa ia akan lembur jadi ia akan pulang sedikit lebih larut daripada biasanya. Bahkan ayah selalu menyuruhku untuk mengunci pintu utama kalau-kalau ayah pulang terlalu larut. Tenang saja, ayah punya kunci cadangan, begitu juga dengan mamas.

Baru saja aku memejamkan mata, terdengar seseorang yang membuka pintu utama, membuatku langsung terduduk dari posisi tidurku. Kepalaku mendangak berusaha melihat siapa yang pulang malam ini, ayah, atau mamas?

Memeluk Luka [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang