[Terbiasa, lagi]

0 0 0
                                    

Pov gibran

Aku tak akan pernah menyangka bahwa raga yang selama ini selalu berpijak dengan kemantapan hati, ternyata harus membawa sebuah rasa sakit di dalamnya.

Penyakit sialan itu, sejak kapan ia bersarang di dalam tubuhku ini? Aku benci, tapi tak bisa marah kepada siapapun. Aku marah kepada diriku sendiri, aku benci kepada diriku sendiri.

Kenapa tuhan selalu seenaknya kepadaku? Apakah Dia tak ingin aku hidup sebagai hambaNya di dunia ini? Atau bagaimana? Kenapa jalan hidupku selalu seperti ini?

Perubahan yang dialami oleh tubuhku, sakit dan nyeri yang aku rasakan akhir-akhir ini, semuanya terjawab sudah. Sebuah penyakit kanker darah stadium awal sudah berhasil masuk dan bersarang di dalam tubuhku.

Entah sejak kapan, aku pun tak tahu. Tapi ketika mendengar diagnosa dari dokter, mungkin penyakit ini belum lama ada di tubuhku, karna ia baru saja berumur stadium awal.

Lagi-lagi aku harus masuk ke sebuah ruangan dengan nuansa putih yang disertai dengan bau obat-obatan, untuk ke sekian kalinya. Jujur saja aku bosan jika harus begini terus-terusan. Tapi otak dan tubuhku tak bisa untuk diajak bekerja sama oleh tuannya.

Sudah hampir satu minggu aku dirawat di rumah sakit ini. Penyakit sialan itulah penyebabnya. Kata ibu, aku sempat tak sadarkan diri selama dua hari saat pertama kali ayah membawaku kemari. Oh tidak, kenapa aku tak sekalian tidur selamanya saja? 

Sore ini, sekitar pukul 15.00 aku sudah diperbolehkan pulang ke rumah oleh dokter di rumah sakit. Tentunya dengan pengawasan yang ketat, dan juga tak lupa ada beberapa hal yang harus aku hindari untuk sementara waktu agar pemulihannya bisa lebih cepat.

Tentu saja bersama ayah dan ibu, juga sekertaris pribadi milik ayah;om jafran. Ah... Iya aku sampai lupa kalau ibu masih ada disini dan belum pulang ke padang sejak aku dirawat di rumah sakit.

Beliau akan kembali ke padang hari ini. Setelah mengantarku ke rumah ayah dan memastikan aku benar-benar istirahat, ibu berpamitan kepadaku untuk pulang ke padang lagi.

"Kamu yakin ngga mau ikut ibu ke padang kak? Biar ibu bisa rawat kamu lebih intens disana" Ucap beliau memohon kepadaku.

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum, "ngga bu lain kali aja, lagian kemaren kan juga gibran udah dapet perawatan intensif selama seminggu di rs. Soal sekarang, ayah juga selalu rawat gibran dengan baik kok bu" Ucapku kepada beliau menolak dengan halus.

Ibu hanya mengangguk. Beliau mengusap lembut kepalaku dan mencium keningku setelahnya.

"Kalo begitu ibu pamit dulu ya kak, jaga kesehatan dan nurut apa kata ayah"

"Iya bu, gibran janji" Finalku.

Aku menatap kepergian ibu dari rumah ini. Rasa sesak itu kembali datang merengkuh dadaku. Dulu, ibu keluar dari rumah ini hanya untuk bekerja. Tapi sekarang, ibu datang ke rumah ini hanya jika sedang seperti ini saja.

Ibu diantarkan oleh om jafran ke bandara. Sedangkan ayah? Laki-laki itu sedang mengurus beberapa berkas kerjanya di ruang kerja. Sebelumnya beliau bilang kepadaku jika ada pekerjaan mendadak di kantor. Beberapa hari absen dari kantor membuat pekerjaan ayah semakin menumpuk dibuatnya.

Ayah itu seorang atasan di kantor. Tapi ayah tetaplah ayah, seorang jovandra rahandika wicaksono si laki-laki gila kerja dan selalu profesional dalam keadaan apapun. Termasuk seperti sekarang ini. 

Suara ketukan pintu terdengar dari arah luar. Saat pintu itu terbuka, menampilkan sosok ayah dengan kemeja berwarna merah maroon yang dipadu padankan dengan celana bahan dan sepatu slip on kulit disana.

Ayah berjalan menuju ke arahku. Aku hanya menatap kedatangan beliau, dengan posisi berbaring dan miring ke arah kanan.

"Kamu bener ngga apa kalo ayah tinggal dulu kak?" Tanya ayah kepadaku, beliau sudah duduk di sebelah tubuhku.

Memeluk Luka [LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang