Coffee Bagian II : Bab 37

31 5 0
                                    

Alissa berdiri di depan lift menuju ruang departemen produksi berada. Ini adalah hari pertamanya bekerja setelah mengambil cuti selama satu minggu. Begitu masuk, Alissa mendapatkan pertanyaan dari rekan-rekan kru IBS, mengenai dirinya yang pergi kemana sampai mengambil cuti lama. Kebanyakan menduga Alissa sedang liburan. Baguslah.

Sebenarnya, Alissa masih belum siap untuk kembali bekerja. Karena ia tidak tahu harus bersikap seperti apa ketika berhadapan dengan Garash nanti. Apalagi perasaan Alissa belum sepenuhnya baik-baik saja. Alissa takut ketika berpapasan dengan Garash tidak bisa menahan diri untuk menangis dengan perasaan bersalah yang muncul.

"Alissa."

Alissa menoleh ke kanan begitu dengar suara yang menyebut namanya. Lalu tersenyum ketika Tommy menghampiri dan berdiri di sampingnya, "Hai, Tom. Apa kabar?"

Tommy berdecak sebal, "Harusnya gue yang nanya gitu. Apa kabar, Ica? Sudah baikan?"

Alissa mengernyit mendengar pertanyaan terakhir Tommy. Seolah Tommy tahu kalau Alissa cuti selama satu minggu kemarin karena sesuatu yang bersangkutan dengan Garash. Mungkinkah Garash cerita? Tapi seingat Alissa hubungan keduanya belum membaik.

Tommy tersenyum sambil terkekeh melihat raut bingung Alissa, "Yah, Ca, tanpa lo kasih tahu juga gue tahu apa yang terjadi sama lo, sampai ngambil cuti satu minggu. Bahkan cutinya khusus banget atas perintah bapak dirut kita."

Kali ini Alissa yang terkekeh. Teringat ketika dirinya meminta tolong pada Joe untuk menggunakan pengaruhnya agar bisa cuti selama satu minggu tanpa dicurigai. Sudah pasti yang mengurus semua itu adalah Pandu Bimasakti Gajendra, kakak Joe yang saat ini menjadi direktur utama IBS.

"Ditambah gue juga lihat si Garash kaya orang engga hidup. Selalu ngelamun dan kebingungan selama lo cuti. Dari situ, gue tahu kalau kalian sudah bicara dan ungkapin yang ada di dalam hati kalian selama ini. Cuman gak berakhir baik aja"

Dugaan Tommy memang benar. Cuman Alissa cukup terkejut mendengar kalau Garash sampai seperti itu selama ia cuti. Alissa kira Garash justru senang karena sudah menumpahkan semua perasaannya dan tidak peduli dengan Alissa. Mengingat Alissa sudah menyakiti perasaan Garash.

Tommy memutar tubuhnya menghadap Alissa, "Tapi, lo beneran sudah baikan, kan? Sudah gak ada yang mengganjal lagi, kan?"

Denting lift terdengar bersamaan dengan pintu terbuka. Alissa dan Tommy masuk ke dalamnya. Beruntung hanya ada mereka berdua sehingga Alissa bisa menjawab pertanyaan Tommy barusan.

"Begitulah." Alissa mengedikkan bahu tidak yakin saat menjawab, "Gue sama Garash sudah ngobrol berdua. Sudah tahu semuanya, tapi gak tahu seperti apa hubungan kita ke depannya."

"Jangan dipaksain kalau emang kalian gak bisa bersama." Tommy melirik Alissa yang berdiri di sampingnya, "Gue bukan ngehasut, ya. Cuman daripada lo sama Garash tersiksa demi bisa bersama. Lebih baik jangan. Takut nantinya hubungan kalian gak berjalan lancar."

"Itu yang lagi gue pikirin sekarang, Tom. Cuman gue emang butuh buat ngobrol sekali lagi sama Garash. Buat bisa selesaikan semuanya."

"Bicarakan semuanya. Biar lo sama dia bisa menatap masa depan lebih baik lagi." Tommy melangkah keluar begitu pintu lift terbuka saat sampai di lantai lima, "Jangan sedih kalau perasaan kalian gak bersatu, Ca. Itu berarti Tuhan sudah mempunyai rencana lain yang jauh lebih indah buat kalian berdua."

Alissa tersenyum mendengarnya, "Thank, Tom."

"Semangat, ya."

Setelah Tommy pergi, Alissa merenung di dalam lift. Tersadar bahwa selama ini hubungan Alissa dengan Garash tidak pernah berjalan lancar. Selalu saja ada halangan dalam bentuk apapun dari waktu kuliah sampai sekarang. Mungkin itu sebenarnya tanda kalau Alissa dan Garash mungkin tidak bisa bersatu. Hanya saja terlalu diabaikan karena keduanya masih dalam gejolak asmara.

COFFEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang