Coffee Bagian II : Bab 42

34 5 0
                                    

Garash berdiri di rooftop IBS sambil memandang lurus gedung-gedung pencakar langit yang tidak begitu terlihat di malam hari. Hanya lampu dari setiap lantai saja yang membuatnya bisa terlihat, meski samar. Semilir angin dan suara kendaraan yang saling bersahutan menjadi teman untuk Garash malam ini.

Menemani Garash yang tengah merenung setelah mendengar ungkapan perasaan Alissa pada Joe beberapa saat lalu. Sudah jelas Garash tidak bisa mempercayai semua itu, tapi tidak bisa dibantah karena ia mendengar langsung dari Alissa.

Bahkan, lirihan suara penuh keputusasaan, kecewa, tapi memendam kedambaan itu terdengar jelas oleh Garash. Ia tahu bahwa perasaan Alissa sebenarnya terbagi dua antara dirinya dan Joe, tapi tidak tahu kalau lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu adalah pemilik sesungguhnya.

Garash bingung harus melakukan apa. Tentu saja ia tidak ingin melepaskan Alissa untuk orang lain. Akan tetapi, ia sadar bahwa bersamanya tidak akan membuat perempuan itu sepenuhnya bahagia.

Garash masih teringat jelas hari-hari saat bersama Alissa selama tiga bulan terakhir ini. Senyumnya begitu cerah, wajah berseri-seri, tatapan begitu hangat, tapi tidak ada cinta atau suka yang terpancar dari Alissa untuk Garash melalui apa pun.

Setiap kali Garash melontarkan kata suka atau mengungkapkan perasaan, Alissa hanya membalas dengan senyuman serta tatapan hangat layaknya seorang sahabat. Tidak ada cinta tulus yang diperlihatkan perempuan itu. Kini, sudah jelas karena tidak ada perasaan untuk Garash.

Garash menghela nafas panjang sambil menundukkan kepala, "Apa yang harus lakukan, Ca? Haruskah hubungan kita berakhir saja?"

Garash tahu kalau semua ini bisa terjadi karena dirinya yang tidak memberi kabar pada Alissa selama dua tahun dan kesalahpahaman yang terjadi cukup lama. Memberikan celah pada lelaki lain untuk mengisi perasaan Alissa yang sedang kosong saat itu. Dan, lelaki yang berhasil itu adalah Joe.

Garash tersenyum miring, lalu lanjut bergumam, "Karena jelas gue gak bisa mengalahkan Joe."

Dulu, Garash berpikir tidak bisa mengalahkan Joe, karena lelaki itu hampir sempurna. Memiliki kekayaan berlimpah, pekerjaan bagus, dan akan mempunyai kekuasaan tinggi di rumah sakit milik kelurganya, sehingga Alissa mungkin mempertimbangkan Joe untuk ada di hidupnya.

Tapi, sekarang, Garash sadar bahwa yang tidak bisa ia kalahkan dari Joe adalah perasaan serta perhatian lelaki itu pada Alissa. Selama bekerja di IBS, Garash bisa melihat dengan jelas bagaimana perhatian Joe pada Alissa. Bagaimana cara Joe dalam mengungkapkan perasaan Alissa, dan yang lebih penting adalah kehadiran Joe setiap kali Alissa membutuhkannya. Joe selalu ada dengan cintanya yang tulus untuk Alissa. Maka itulah alasan Alissa bisa menyukai Joe dan mengatakannya secara langsung.

Sementara Garash, hanya memiliki cinta untuk Alissa, tapi tidak bisa selalu ada untuknya dan mengungkapkan dengan baik secara kata ataupun sikap. Adapun ia bisa bersama Alissa saat ini juga karena bantuan seorang Joe Angkasa Gajendra. Garash menertawakan semua itu. Lebih tepatnya menertawakan diri sendiri yang bodoh.

"Brengsek banget lo, Rash."

Dinginnya angin malam yang menyapu wajahnya tidak begitu terasa. Begitupun dengan panasnya Jakarta yang tidak membuat Garash gerah sama sekali. Garash hanya merasakan sakit yang begitu menyesakkan pada hatinya. Perasaan yang membuat merasakan denyut begitu menyiksa di dalam dirinya, sehingga mendorong dirinya untuk menangis.

"Pasti perasaan ini yang Alissa rasain selama ini. Sakit banget." Garash tersenyum miris, "Dia kuat bisa menahan semua ini sendirian dan lama."

Sakit. Sangat sakit. Sampai Garash bingung bagaimana untuk meredakannya. Rasanya begitu lemah jika ia tidak bisa menghadapi kesakitan pada perasaannya. Karena Alissa merasakan yang jauh lebih sakit darinya selama ini. Sakit hati yang dibuat oleh Garash.

COFFEETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang