[1] Klien #1: Bumi Surabaya City Resort

299 12 2
                                    

Surabaya, 2022

***

Tidak ada yang lebih menyebalkan dari dijodoh-jodohkan. Sebaik apa pun niatnya, tak ada gunanya kalau hati sudah penuh terisi.

"Masa ya, Ray, Tante Nanik, mother of the bride hari ini, mau jodohin aku sama keponakannya?"

Freya meletakkan cangkir bekas kopi yang sudah dia cuci berdampingan dengan piring dalam rak di atas bak cuci. Tetes air meluncur bebas tanpa dicegah, seperti tawa kecil yang keluar dari bibirnya. Sambil mengeringkan tangan, Freya menatap ke arah ruang tengah rumah mungilnya, dan berkata, "Dia bisa pingsan kalau tahu statusku."

Dia masuk ke kamar tidur yang terang, kontras dengan langit yang masih gelap. Mematut diri di depan cermin Freya melihat kemeja hitamnya licin tanpa kerut. Tanda pengenalnya dia kalungkan di sekeliling leher. Dia mengerling pada bayangannya di cermin dan tersenyum.

"Kalau boleh aku pengin nggak berangkat aja, biar anak-anak lain yang tangani klien hari ini," sambungnya dengan mata yang melirik ke arah luar kamar.

Melangkah ke ruang tengah, Freya berhenti di hadapan rak gantung, tempat beberapa pigura foto tertata rapi. Diapit oleh pigura-pigura itu, duduk sebuah guci putih-biru dengan motif oriental khas Dinasti Ming. Dia tersenyum sebelum duduk di sofa dan mulai mengenakan sepatu hak tinggi yang sudah dia siapkan.

"Tapi aku tahu, Ray, kamu pasti akan dorong aku untuk hadapi klien, apa pun kondisinya. Semoga aku bisa sabar hadapi klien hari ini ya." Freya berdiri lalu kembali merapikan pakaiannya. "Kalau ada kamu, pasti ada yang bikin aku tenang," imbuhnya lirih.

Meraih kunci mobil di sebelah guci, Freya membuang napas dan sekali lagi mengulas senyum. Diraihnya tas selempang hitam dan lunch bag kuning. Setelah memasang masker menutupi setengah wajahnya, dia berkata dengan lantang.

"Aku berangkat dulu. Wish me luck ya!"

***

Penyiar radio menemani Freya yang menyetir sendiri di jalanan kota Surabaya yang masih lengang. Matahari saja belum muncul dari peraduannya.

Sebagai pemilik event organizer Freya sudah terbiasa berangkat kerja dini hari dan pulang menjelang tengah malam. Namun, semua berubah karena pandemi. Berbagai aturan dan protokol membuat tak banyak klien mengadakan acara –terutama pernikahan– secara besar-besaran. Blossom, EO yang Freya kembangkan bersama Raymond, suaminya, juga terpaksa melakukan banyak penyesuaian.

Kini, setelah situasi mulai membaik dan membuat banyak klien mulai berani mengadakan acara pernikahan, Freya dan timnya harus mengadakan penyesuaian lagi, menata kembali layanan yang mereka tawarkan kepada klien.

Layar head unit di tengah dashboard menampilkan tanda ada panggilan yang masuk. Tanpa melihat pun, Freya tahu siapa yang meneleponnya pagi-pagi buta begini.

"Ya–"

"Kamu udah di mana?" potong lawan bicara Freya.

Dengan pandangan tetap tertuju ke jalanan, Freya berdecak kesal. "Kamu tuh ya, Win, apa nggak pernah diajar sopan santun? Telepon ya bilang 'halo' atau 'selamat pagi' dulu. Bukan main nyerocos aja. Sama klien gini juga?" cecarnya tegas.

"Ya, maaf... kamu dicariin sama Tante Nanik, beliau panik belum lihat kamu di sini."

Freya tersenyum mendengar nama yang disebut oleh Edwin, tangan kanan Freya di Blossom yang juga adik sepupu Ray.

"Semua on schedule?" tanya Freya.

"Sudah beres make up, lagi ganti pakaian semua. Kamu udah di mana sih? Aku sudah stand by dari jam 3." Suara kuap Edwin terdengar jelas. "Aku kira event di masa pandemi bisa lebih santai. Ternyata masih begini ya. Masih aja harus kerja mulai subuh," keluh laki-laki itu.

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang