[23] Baby Shower Klien #2: Resto Nine

62 7 1
                                    

Riuh percakapan memenuhi ruangan yang dihiasi dengan balon berwarna-warni. Sekalipun jumlah tamu siang ini tak mencapai 30 orang, cerita dan gelak tawa mereka menggempita.

Kedua sisi meja panjang, yang diletakkan di tengah ruangan, dipenuhi oleh kerabat Stephen dan Windy, pasangan calon orang tua yang merayakan kehamilan mereka. Stephen dan Windy sendiri duduk di tengah meja panjang, membelakangi backdrop yang disediakan untuk berfoto bersama.

Dari ujung ruangan tempatnya berdiri, Freya melihat wajah Windy yang berseri-seri. Bukan polesan make-up artist yang membuatnya tampak segar. Binar mata dan senyum yang tidak pernah luntur dari wajahnya membuat sang calon ibu itu terlihat cantik.

Sejak menyambut para tamu hingga sesi permainan seru yang dipimpin langsung oleh adik laki-laki Windy, sang calon ibu terus tertawa sembari sesekali mengusap perutnya yang membuncit.

"You did a great job," bisik seseorang dekat telinga Freya.

Dia menoleh dan menemukan Austin, yang tiba-tiba saja muncul di sana. Sejak tadi, Austin sibuk mengabadikan banyak peristiwa di acara Stephen dan Windy. Mereka hanya bertukar sapa ketika sama-sama tiba di lokasi acara, lalu fokus dengan pekerjaan masing-masing.

Freya tersenyum lalu kembali menatap pada Stephen dan Windy yang kini sibuk membuka kado yang sudah disiapkan oleh orang-orang terdekat mereka.

"Stephen dan Windy bukan klien juaji, yang sukar dipuaskan dan banyak menuntut. Mereka selalu terbuka dengan masukan tetapi juga tahu cara mengomunikasikan keinginan mereka dengan santun." Freya melirik pada Austin. "Aku percaya klien yang seperti mereka –yang baik budi dan mau bekerja sama– akan menikmati acara yang lancar dan penuh kebaikan juga."

Kerutan muncul di wajah Austin. "Bukannya mereka sempat reschedule beberapa kali waktu wedding?"

Freya mengedikkan bahu. "Itu force majeure. Bukan karena mereka yang rewel." Dia tertawa kecil lalu menambahkan, "Kamu sendiri yang jadi saksi gimana luar biasanya acara pernikahan mereka, kan?"

Kini Austin mengangguk. Laki-laki itu baru membuka mulut ketika sang MC mengumumkan bahwa mereka akan berfoto bersama.

"Tugas memanggil." Freya menggerakkan kepala ke arah backdrop, memberi tanda agar Austin menuju ke sana dan melakukan pekerjaannya.

"Siap, Bos!" jawab Austin sambil mengerling pada Freya.

Pandangan Freya mengikuti langkah Austin, yang kini sudah mengambil posisi di hadapan Stephen dan Windy. Setelah gambar diambil dan Austin memberi tanda dengan ibu jarinya, sang MC menyilakan orang tua dari Stephen dan mama Windy untuk bergabung dengan putra-putri mereka.

Freya tersenyum –walau pandangannya menjadi buram karena ada air mata yang menggenang tak diundang– ketika melihat mama Windy membawa foto sang papa. Foto –yang dihadirkan di hari pernikahan Windy beberapa bulan yang lalu– itu berada di pelukan sang istri yang tersenyum lebar.

Ketika Windy mengatakan foto sang papa akan menjadi bagian penting dari baby shower-nya, Freya sempat khawatir. Tak sedikit orang yang beranggapan bahwa hari bahagia tak boleh dicampur aduk dengan memori yang bernada duka. Pengecualian itu dibuat pada pernikahan Windy mengingat sang papa berpulang beberapa hari sebelumnya.

Mungkin Stephen –sebagai suami Windy– bisa memahami keinginan sang istri. Tetapi bagaimana dengan kerabat yang lain, termasuk orang tua Stephen? Bisa jadi mereka menolak.

Freya sudah sangat hafal komentar dan kepercayaan seputar duka dan kematian. Pembicaraan seperti itu selalu dihindari karena ditakutkan mengundang kesialan dan nasib buruk.

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang