[10] Klien #4: Java Paragon Hotel & Residences

62 8 1
                                    

"Ellysa belum siap, Bro?" tanya Austin kepada Edwin yang duduk di kursi tepat di sampingnya. Sesi foto di area kolam renang harus ditunda. Pengantin perempuan perlu mendapat perbaikan dandanan yang luntur karena sempat menangis.

Edwin menyodorkan sebotol air minum kepada Austin, lalu membuang napas keras-keras. "Belum. Kabarnya masih ribut pilih gincu warna apa." Laki-laki itu melirik jam tangan yang dikenakannya, lalu berkata lagi, "Kita masih ada spare waktu setengah jam sih. Sepuluh menit lagi aku tanyain kru yang di atas." Tubuhnya melemas, bersandar di kursi yang pernisnya mulai luntur.

Austin hanya bisa mengangguk-angguk mendengar keluhan Edwin. "Wedding di Indo selalu ribet ya. Selama ini aku pikir keribetan Chinese wedding sama di mana-mana. Tapi, setelah lihat beberapa wedding temen di Taiwan, nggak ada yang bisa mengalahkan ribetnya wedding Cindo."

Austin dan Edwin tertawa bersama, menyadari kebenaran yang terkandung dalam pernyataan Austin barusan. Tak jauh dari tempat mereka duduk, beberapa kru Light Studio sedang asyik bercengkrama.

Setelah melepas masker dari wajahnya, Austin meletakkan kamera, yang sejak tadi dia pegang, di sisi bangku yang masih kosong. Dia membuka botol air pemberian Edwin, menikmati beberapa tegukan air.

"Dari dulu suka foto?" tanya Edwin. Laki-laki itu mengedikkan dagu ke arah kamera yang tergeletak di atas kursi.

Austin tersenyum dan mengangguk. "Dulu terpaksa belajar buat acara-acara sekolah. Lama-lama jadi keterusan." Di kepala Austin, terputar kembali kenangan menjadi fotografer dadakan agar rubrik reportase sekolah di mading makin lengkap dengan foto-foto. Tak menyangka, sejak itu dia ketagihan melihat dunia lewat lensa kamera, mengabadikan berbagai kisah yang menggugah hatinya.

"Jadi, di Taiwan belajar fotografi dan jadi fotografer juga?" Badan Edwin kini sudah diputar menghadap ke arah Austin.

Tersenyum kecut, Austin menjawab, "Nggak. Dulu kuliah elektro di sana. Zaman itu, fotografi nggak semaju sekarang. Jarang ada orang tua Cindo yang bisa legawa anaknya belajar fotografi untuk hidup. Buat hobi... ya oke lah. Tapi sebagai karier... susah diterima."

Bayangan wajah tanpa senyum Papa dan titah absolut beliau muncul di benak Austin. Dia menunduk, menatap nanar ke air kolam renang yang begitu tenang.

"Jadi kamu bukan fotografer pro di sana?" Dahi Edwin berkerut. "Lihat caramu kerja, aku sempat kagum si Justin bisa dapat fotografer pengganti dadakan yang andal kayak kamu."

Austin terkekeh. "Sehari-hari aku kerja di perusahaan web developer. Tapi, aku punya hari-hari khusus jadi fotografer keliling. Awalnya karena teman minta tolong fotoin pre-wedding dia. Maklum, di sana banyak orang menikah low budget. Habis bantu satu teman, bantu teman lain. Lama-lama, aku beranikan diri untuk terima klien."

"Pantesan!" seru Edwin sambil menepuk pundak Austin. "Kamu menguasai medan foto per-wedding-an. Nggak perlu banyak briefing, sudah tahu harus ngapain, termasuk adat-istiadat wedding Cindo yang super kompleks." Tawa Edwin kembali meledak. "Justin hoki banget. Kamu ada di sini pas anaknya lahir," imbuh Edwin.

"Sebetulnya bukan Justin yang hoki. Selama ini aku yang hoki, nggak ikut kerja tapi dapat untung. Ikut kerja di lapangan selama beberapa waktu ini bikin aku sadar bahwa kerjaan Justin nggak gampang. Kayaknya aku mesti kasih bagian lebih gede buat dia."

"Kamu yang punya Light Studio? Kirain cuma bantuin Justin aja?"

Austin kembali membuka botol airnya. Setelah membasahi tenggorokan, dia mengangguk dan menatap Edwin. Ada rasa bangga dalam hatinya, bahwa dia sudah berhasil mewujudkan impiannya, sekalipun harus lewat tangan Justin.

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang