[24] Lupa dan Ingat

83 8 2
                                    

"Duduk dulu, Ce. Bu Yenny masih terima telepon penting. Tunggu sebentar ya."

Freya tersenyum pada salah satu asisten Yenny yang kemudian meninggalkannya sendiri di ruang tunggu. Kunjungannya ke tempat ini bisa dihitung dengan jari satu tangan –mengingat dulu Yenny lebih sering berkunjung ke rumah Freya. Namun, selalu ada rasa nyaman setiap kali Freya datang dan menemui Yenny di sini.

Gawainya bergetar. Ada deretan pesan masuk yang menunggu untuk dibuka. Sekilas Freya membaca nama-nama yang muncul dan membuka pesan dari satu orang saja.

Jangan lupa makan siang. See you tomorrow.

Senyum Freya merekah. Dia kembali memasukkan gawainya ke dalam tas tanpa menjawab pesan tadi ataupun membuka pesan-pesan yang lain.

Rasanya ada yang salah. Mengapa bibirnya sulit membendung lengkung bahagia itu? Setiap menerima pesan masuk atau telepon dari Austin, ada sesuatu yang membuat harinya lebih cerah dan langkahnya lebih ringan.

Tidak. Austin tidak merayu atau menuliskan kata-kata picisan yang membuat hati Freya berdebar. Dia juga tidak meneror Freya dengan mengirim pesan tiap jam atau menelepon tiap malam.

Freya juga tidak punya waktu untuk menunggu pesan atau telepon Austin seperti keamanan kompleks yang terus menunggui pos jaganya. Dia tetap beraktivitas seperti biasa. Dan pesan-pesan itu masuk di waktu yang pas; sebelum makan siang atau setelah dia tiba di rumah setelah bekerja seharian.

"Hai, Frey!"

Sapaan Yenny membuat Freya beranjak dan mengikuti langkahnya ke dalam ruang konseling. Freya tak sungkan memosisikan diri di sofa yang tersedia. Sementara itu, di meja kecil yang memisahkan dirinya dan Yenny sudah tersedia dua cangkir teh dan sekotak tisu yang selalu ada di sana.

"So, how are you?"

Freya berusaha tersenyum. Tetapi, pandangannya mulai buram. Ah, dia merutuki diri karena dengan mudahnya dia menjadi cengeng di hadapan Yenny. Freya menahan napas, lalu membuangnya perlahan. Beberapa kali dia melakukannya –sesuai dengan yang pernah Yenny ajarkan untuk menenangkan diri– sementara tangannya meraih lembaran tisu.

Dia berusaha keras untuk tidak menangis tersedu-sedu, tetapi air matanya tidak mau berhenti mengalir. Dan di sela derasnya aliran air mata itu, Freya menertawakan dirinya sendiri.

Selama beberapa menit itu, Yenny hanya duduk di sana. Dia bahkan tidak berusaha menyodorkan kotak tisu ke arah Freya. Seperti biasa.

Selama ini Freya memperhatikan dan mendapati bahwa Yenny tidak pernah memberinya tisu ketika dia menangis. Perempuan itu akan duduk bersama Freya, tak peduli berapa lama dia menangis. Kalau di sana sudah tersedia tisu, Freya akan mengambil lembaran itu sendiri.

Dan herannya, Freya merasa lega karena Yenny tak pernah menyuruhnya berhenti menangis, baik lewat kata-kata maupun lewat tisu yang disodorkan. Yenny akan hadir di sana, menemaninya menguras semua yang membuat hatinya sesak. Seperti hari ini.

Entah sudah berapa lama dia menangis. Akhirnya Freya merasa cukup tenang untuk meraih cangkir teh dan menyesap sedikit cairan keemasan yang masih terasa hangat.

Freya kembali menyandarkan tubuhnya pada sofa yang nyaman dan menatap Yenny.

"Apa yang kamu pikirkan, Frey?" tanya Yenny dengan lembut.

Dia menghela napas panjang sekali lagi, lalu berkata, "Aku bingung, Ce. Rasanya hatiku dan kepalaku sedang nggak sinkron." Dengan dua tangannya, Freya mengusap kepala dan rambutnya sendiri. "Kepalaku terus berkata bahwa aku berhak bahagia. Aku memang kehilangan Ray dan duka itu nggak mungkin aku hapus dari hidupku, sama seperti Ray nggak mungkin kembali."

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang