[12] Pertanyaan Mendesak

57 8 0
                                    

Freya menyipitkan mata. "Maksudmu?"

"Sudah cukup lama kamu menyeret beban sendirian. Kamu nggak bisa hidup begini terus."

Menggelengkan kepala, Freya memainkan cangkir tehnya. "Aku ... nyaman kok hidup begini." Freya berusaha tersenyum.

Edwin berdecak. "Kamu mau bohongin siapa sih, Frey? Kalau kamu pikir dengan terus bersedih kamu menunjukkan kesetiaanmu sama Koko, kamu salah. Koko nggak akan suka lihat kamu seperti ini. Hidupnya sudah selesai di dunia ini. Hidupmu belum. Koko pasti pengen kamu bahagia. Sudah waktunya kamu menata masa depanmu, Frey."

"Masa depan apa, Win? Blossom masa depanku."

"Bukan itu maksudku–"

"Lalu apa maksudmu?" potong Freya. Dia tertawa getir, menangkap maksud terselubung dari kata-kata Edwin. "Menikah lagi? Ada gitu yang mau sama janda kayak aku?"

Untuk sesaat Edwin dan Freya sama-sama terdiam. Sesekali Freya mengalihkan pandangannya ke arah cangkir teh atau pada pemandangan kota yang begitu indah dari lounge yang berada di puncak gedung hotel ini. Dia tahu tidak bisa berbohong pada Edwin, yang terus menatapnya lekat.

"Kalau ada, gimana, Frey?"

Freya duduk di ruang tengah rumahnya sejak dia bangun pagi tadi. Entah sudah berapa lama. Cangkir teh di tangannya masih penuh, tetapi sudah kehilangan uap hangatnya. Matanya terus menatap pada foto Ray.

Dia terus menanti sebuah tanda. Semilir angin yang membelai wajahnya atau suara dari bilah-bilah wind chime bambu yang Ray gantung di jendela dapur. Bukankah banyak kisah yang mencatat adanya tanda dari alam, sebuah pesan dari jiwa sang kekasih?

Sudah lama Freya menunggu. Nihil. Tidak ada tanda sama sekali. Angin pun rasanya bersekongkol dan menolak bertiup siang ini. Apa ini artinya Ray ingin Freya menjalani hari-hari seperti yang sudah dia lakukan selama ini?

Semenjak Ray tiada, hidup Freya hanya untuk Blossom dan Mami Giok. Dia jarang sekali memikirkan tentang dirinya sendiri. Tetapi, kehadiran Austin dan pertanyaan Edwin kemarin mengusiknya.

Denting dari gawainya berhasil membuat Freya menaruh cangkir teh dan meraih gawai yang sejak tadi duduk manis di atas meja. Laura, istri kokonya, menelepon. Freya tersenyum menyadari bahwa pasti wajah Papa yang akan muncul di gawainya segera setelah tombol hijau itu dia geser.

"Me, wis makan?" Tanpa basa-basi, Papa langsung menyambut Freya dengan salah satu pertanyaan wajib.

Senyum Freya makin lebar. Melihat Papa tampak sehat, hatinya lega. Sekalipun beberapa tahun ini dia tak pernah punya kesempatan berjumpa langsung dengan Papa yang ada di Jakarta, di rumah Fandi, kokonya.

"Habis ini, Pa. Papa sehat?"

"Papa tambah gemuk di sini. Itu Laura tiap hari cobain resep baru. Papa pasti dapat jatah cicip pertama," lapor Papa yang kini tertawa lepas.

Suara tawa yang menggelegar itu menghangatkan hati Freya. Tapi hatinya menuntut lebih. Freya membayangkan betapa hangatnya berada di pelukan Papa. Dan pikiran itu membuat matanya berkaca-kaca.

"Me? Kamu kenapa? Sakit? Kok mukamu pucat? Papa minta Laura kirim makanan, ya?"

Freya menggeleng lalu terkekeh. Di mata Papa, dia akan selalu menjadi Meme, anak bungsu yang selalu butuh diperhatikan dan dilindungi.

"Pa ...." Tiba-tiba lidah Freya kelu. Tapi, dia tahu mungkin ini kesempatan baginya untuk mendapat jawaban dari hal yang membuatnya terjaga sepanjang malam. "Apa Papa pernah... pernah kepikir cari pengganti Mama?"

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang