[9] Isi Hati

64 7 3
                                    

Freya membuang napas lega setelah mengetik titik terakhir di laporan acara pernikahan John dan Martha. Serah terima dan laporan pada hari acara sudah diberikan pada perwakilan keluarga di akhir acara. Namun, Freya akan menuliskan laporan dan evaluasi yang lebih terperinci untuk dikirimkan via surel pada klien. Dengan cara ini juga, dia dapat terus memantau kinerja dan memikirkan pengembangan dan perbaikan yang dibutuhkan.

Diraihnya secangkir teh yang tadi disiapkan oleh Vina, staf admin yang sudah bekerja di sini sejak kantor Blossom dibuka. Seraya menghirup teh hijau yang masih hangat itu, Freya menikmati ketenangan kantor. Biasanya hanya Freya dan Edwin, serta beberapa kru produksi, yang datang untuk merancang acara klien. Vina, yang juga merangkap sebagai resepsionis, biasanya beraktivitas di lantai dasar, dekat pintu masuk.

Mata Freya memindai satu-satunya lukisan yang tergantung di dinding ruangannya. Lukisan Plum Blossom. Ketika membeli ruko kecil ini, Raymond, yang waktu itu masih berstatus sebagai tunangan Freya, bersikeras untuk hanya menggantung lukisan ini.

"Nanti di sini, kita gantung monitor, buat meeting sama kru." Ray menunjuk bidang dinding yang rencananya menjadi tempat bagi layar monitor 32 inci yang sudah mereka siapkan. "Lalu di sini, kita akan gantung lukisan ini. Cuma lukisan ini. Nggak perlu hiasan lain," tegas Ray yang menginspeksi ruangan yang sudah hampir siap digunakan.

Mau tak mau, Freya ikut melirik pada pigura besar yang masih rapi terbungkus dan diletakkan di lantai sudut ruangan.

"Ini kantor EO atau ruang pamer lukisan?" sindir Freya terkekeh.

Ray hanya menatapnya lembut. Senyumnya selalu menimbulkan getar di hati Freya. "Aku ingin kita selalu ingat siapa kita. Suatu kali, kalau kita lagi ada di bawah, lagi menghadapi tantangan dan kesulitan, lihat lukisan ini, kita ingat lagi untuk tetap bertahan, untuk tekun berusaha."

Seakan tersihir oleh perkataan Ray, Freya hanya bisa balas memandang laki-laki yang melangkah makin dekat dengannya. Dan ketika Ray memegang kedua lengannya, ada kehangatan yang Freya rasakan dalam hatinya.

"Suatu kali, kalau kita merasa dunia ini runtuh, lukisan Plum Blossom ini yang akan mengingatkan kita, selalu ada harapan untuk awal yang baru."

"Kirain kamu pilih nama Blossom karena terlalu suka sama bunga yang nuansanya oriental banget?" Freya mengerling.

Tawa Ray menggema di ruangan yang masih kosong itu. "Salah satunya. Tapi makna Plum Blossom itu bagus juga."

"Iya deh, yang lagi in the mood for philosophy." Freya memeluk pinggang Ray yang dibalas dengan pelukan laki-laki itu pada bahunya.

Mereka berdiri bersisian, menatap sekeliling kantor baru mereka. Kantor hasil kerja keras selama bertahun-tahun. Di tempat inilah mereka akan melanjutkan membangun mimpi dan menolong banyak pasangan muda memulai perjalanan keluarga impian mereka.

Dan saat ini, di tempat yang sama, Freya duduk sendiri. Tanpa Ray. Menatap nanar pada lukisan Plum Blossom di hadapannya.

Harapan untuk awal yang baru. Tapi apa harus tanpa kamu?

Dengan pandangan yang memburam, Freya menatap ke luar jendela. Siang ini langit begitu biru. Matahari tampak sangat terik. Namun, Freya malah teringat kejadian semalam yang masih meninggalkan sesak di hatinya.

Karena menunggui John dan Martha di rumah sakit, Freya baru tiba di rumah lewat tengah malam. Bukannya membersihkan diri lalu beristirahat, Freya malah duduk di depan guci abu Ray, masih dengan seragam EO. Badannya memang sudah pegal karena seharian ini terus berpikir keras dan bertindak cepat. Namun, hatinya tak bisa tenang sebelum dia bicara pada Ray.

"Aku kangen, Ray. Biasanya ada kamu yang peluk aku setelah kita seharian urus acara klien. Ada kamu yang meyakinkan aku bahwa kita sudah lakukan yang terbaik."

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang