[6] Tukang Kritik

68 6 0
                                    

Sepulang ibadah, Freya melajukan mobil ke rumah Mami Giok. Jalanan mulai ramai dengan kendaraan. Surabaya pada Minggu siang tak sesepi ini. Dulu, klien Blossom yang mengadakan pernikahan di hari Minggu terkadang harus menyewa pengawalan agar tak terjebak kemacetan.

Freya mengamati kendaraan yang ada di sekitarnya. Sepi masih lebih baik daripada kosong. Sepi artinya orang-orang mulai beraktivitas dan keluar rumah. Sepi artinya situasi mulai membaik. Tadi saja, gedung gereja mulai terisi walaupun mereka harus menjaga jarak duduk dan tak boleh melepaskan masker.

Mobil Freya berhenti di depan pagar rumah Mami Giok. Halaman yang hanya cukup untuk satu mobil sudah penuh dengan mobil Edwin dan beberapa motor milik sepupu Ray. Freya masuk lewat pintu samping yang memberinya akses langsung menuju bagian belakang rumah. Dia bergegas masuk ke kamar mandi kecil yang terletak di ujung. Dan setelah membersihkan diri, Freya merapikan bawaan dan menaruhnya dalam kamar kecil di samping kamar mandi.

Kasur kapuk yang ada di kamar itu dibungkus rapi dengan plastik. Sudah lama kamar itu tidak dihuni. Setelah Bibik –yang bekerja dengan keluarga itu sejak Ray kecil– pensiun dan pulang kampung, beberapa ART masuk-keluar dalam hitungan hari saja.

"Mana ada yang tahan kalau Ik Hong rewel setengah mati begitu? Jangankan ART, papanya Edwin aja nggak bisa tahan. Tidak ada yang benar di mata Ik Hong," kata Ray menganalisis situasi saat itu. Namun, Ray juga tak bisa berbuat apa-apa karena Mami Giok tak ingin mempermasalahkan hal ini.

Akhirnya Ray datang setiap hari membantu Mami Giok menyapu dan mengepel. Dan sebulan sekali dia menyewa jasa profesional untuk membersihkan rumah secara menyeluruh hingga ke sudut-sudut yang sering tak terjangkau.

Kamar untuk ART itu kembali difungsikan ketika pandemi menyerang. Ray dan Freya membersihkan kamar dan kamar mandi itu sebagai tempat membersihkan diri sebelum masuk ke dalam rumah dan bertemu Mami.

"Nik, kok masih mandi di belakang? Lain kali mandi di dalam saja. Kan Covid juga sudah ndak parah seperti kemarin-kemarin," tegur Mami ketika Freya masuk lewat pintu belakang yang terhubung dengan dapur.

Freya hanya tersenyum. Covid sudah merenggut Ray dari hidupnya. Mana mungkin dia gegabah dan mengambil risiko Mami Giok –dengan komorbid diabetesnya– terinfeksi virus ganas itu?

"Masak apa, Mi? Freya bantu, ya?" Di atas meja dapur ada sayuran yang sudah dicuci dan sebagian bahkan sudah dipotong.

"Frey, bisa ngobrol sebentar?"

Belum juga Mami Giok menjawab, Edwin melongokkan kepala di ambang pintu dapur.

"Sudah, kamu ngobrol sama Edwin saja. Masalah kerjaan Mami ndak bisa bantu. Tapi, Mami bisa masak enak supaya kalian bisa kerja dengan kuat."

Freya mengangguk. "Freya ke depan dulu ya, Mi."

Dari ruang tengah terdengar riuh beberapa sepupu Ray yang sedang bercengkrama. Edwin duduk menghadap meja makan dengan tablet di tangannya.

"Kenapa, Win?" tanya Freya yang duduk di samping Edwin.

Edwin menyodorkan tablet di tangannya kepada Freya.

"Wedding minggu depan lumayan gede, Frey. Menurutku, kita bisa balik ke formasi yang sebelumnya. Kru yang handle kitchen nggak cukup satu. Aku sudah pikir minta bantuan yang tugas di bagian registrasi. Tapi, undangan mereka hampir 500, agak riskan untuk minta kru registrasi untuk ke kitchen. Aku juga perlu tambahan di produksi, karena konsepnya cukup rumit; yang pegang video nggak mungkin urusin sound dan lighting. Kru field juga minimal tambah satu, perlu orang untuk bantu cari tamu yang akan foto. List foto mereka lumayan panjang. Escort keluarga nggak mungkin aku minta bantu kali ini; yang ikut upacara cinciu hampir 50."

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang