[29] Klien #8: The Aftermath

59 7 0
                                    

Entah sudah berapa kali Freya mendesah sepanjang malam ini. Yang dia tahu, sepanjang bekerja sebagai seorang event organizer, dia tidak pernah selelah ini. Sepanjang sore hingga malam ini, setiap kali Edwin atau Bella mendekat, kepala Freya langsung penuh dengan dugaan negatif.

Masalah apa lagi yang muncul? Apakah ada halangan dalam acara yang berlangsung? Siapa atau apa lagi yang jatuh?

Hati Freya terus dibayangi rasa khawatir. Ketika acara berlangsung, kaki Freya tak berhenti melangkah. Setelah memeriksa bagian dapur dan memastikan hidangan disajikan tepat waktu dia akan menuju ke belakang panggung untuk bicara pada para manajer penampil. Beberapa menit duduk dan mendengar sendiri bahwa semua berjalan lancar, Freya melangkah ke arah foyer. Situasi cukup ramai karena ada banyak yang mengantre untuk mengambil gambar di sudut photobooth.

Menilai keadaan cukup kondusif, dia melangkah ke dalam ballroom dan mendapati kru Blossom sedang berpencar ke berbagai titik. Sesi foto bersama di panggung sedang berlangsung, pastilah krunya sedang mencari orang-orang dalam daftar untuk mulai bersiap maju ke atas panggung. Freya melihat dua orang penyanyi sedang melantunkan tembang klasik Mandopop di sayap kanan panggung. Dia cukup salut melihat manajer orkestra berhasil menemukan penyanyi pengganti.

Freya terus berkeliling seperti guru TK yang harus terus memantau kinerja anak-anak didiknya. Jantungnya tak akan sanggup bila terjadi insiden lain. Dia baru berhenti ketika hidangan penutup disajikan dan tangannya menerima laporan tertulis dari krunya.

Sudut di belakang panggung yang tampak kosong dijadikannya tempat untuk merangkum semua laporan yang masuk. Berbekal map karton –yang selalu disiapkan sebagai laporan serah terima pada klien di akhir acara– Freya mulai memeriksa lembar-lembar yang ada.

"Frey."

Panggilan itu membuat Freya menoleh. Edwin sudah duduk di sampingnya dengan ekspresi datar. Freya memutuskan untuk kembali menulis laporan, dia yakin Edwin datang bukan untuk melaporkan adanya insiden atau masalah terkait acara ini. Selain karena acara sudah hampir selesai, Edwin biasanya bersikap serius –ketimbang muram seperti ini– bila menemui kesulitan.

"Aku lebih pilih dimarahin, dimaki juga boleh, daripada harus menerima berita seperti ini," keluh Edwin, diikuti dengan desahan yang terdengar jelas di tengah hiruk-pikuk acara.

Freya langsung menghentikan kegiatannya dan memberi perhatian penuh pada Edwin. "Ada apa? Ada berita dari rumah sakit?"

Edwin menunduk, kepalanya menggeleng. Dia mendesah. Lagi. Berat dan panjang.

"Mama baru telepon."

Banyak skenario buruk yang langsung menyergap Freya. "Kenapa? Mami sakit? Kena Covid? Atau Ik Hong?"

Edwin kini menengadah tetapi pandangannya menerawang ke arah langit-langit ballroom.

"Papaku pulang."

Tak tahu harus berkata apa, Freya memilih untuk diam dan –setelah menyelipkan pena pada sampul map– sedikit memutar tubuhnya menghadap laki-laki di sampingnya. Kedua tangan Edwin terlipat di atas pahanya, kakinya bergerak-gerak gelisah. Suara musik memenuhi ruangan itu, tetapi Freya yakin isi kepala Edwin jauh lebih bising.

"Mama barusan telepon sambil nangis-nangis. Aku nggak bisa dengar jelas cerita Mama. Intinya Papa tahu aku mau nikah, dan dia pulang. Begitu bertemu, mereka langsung ribut."

Kepala Edwin tertunduk. Bahunya terkulai, seakan menanggung beban yang makin berat seiring dengan orkestra yang memainkan musik rancak nan gempita sebagai tembang penutup pesta malam ini.

"Kalau boleh, aku pengin nggak pulang. Tapi, aku juga kasihan Mama kalau harus hadapin Papa sendiri," sambung Edwin yang kini menunduk. "Sudah lama kami dia menghilang tanpa kabar. Buat apa sekarang dia datang dan membuat semua jadi sulit?" Satu tangannya terangkat, mengusap tengkuknya sendiri.

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang