[7] Klien #3: Hotel Majapahit Surabaya

59 7 0
                                    

Seharusnya lorong hotel tidak seramai ini. Beberapa kru berseragam putih mengobrol santai di sekitar pintu kamar hotel yang sudah dihias dengan kain merah dan simbol The Double Happiness. Untung saja kamar itu langsung berhadapan dengan taman yang luas. Kalau tidak, mungkin mereka sudah diprotes karena mengganggu tamu-tamu hotel yang lain.

Freya baru saja akan membuka mulut dan bertanya kepada kru Light Studio, ketika dia melihat sang mempelai laki-laki, yang masih berpakaian santai, berdiri di ambang pintu yang terbuka. Dia juga melihat Austin sedang bicara serius dengan John, sang mempelai laki-laki.

"Hai, pagi, John."

John menoleh dan memberikan ruang agar Freya dapat lewat dan masuk ke dalam suite.

"Nah, Freya sudah di sini. Kamu tenang aja, Freya pasti bisa bantu," ujar Austin.

"Ada apa?" Freya menatap kedua laki-laki itu.

"Tata demam tinggi," jawab John singkat. Kedua tangannya bersedekap di depan dada. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Sempat muntah-muntah."

Otak Freya langsung penuh dengan berbagai skenario. Mereka bisa mencari dokter untuk memeriksa Martha. Walau sang dokter mungkin akan merujuk untuk pemeriksaan lanjutan, beliau dapat meresepkan obat untuk meringankan gejala yang diderita Martha.

Atau mereka dapat membawa Martha ke UGD rumah sakit terdekat. Risikonya, bila hasil diagnosa tak baik, Martha tidak akan dapat melanjutkan acara pernikahannya sendiri. Alih-alih menuju ke gereja untuk pemberkatan, sang mempelai perempuan malah mungkin harus dirawat inap.

Freya yakin Martha akan bersikeras melanjutkan acara. Jadi, tugas Freya adalah menyusun rencana antisipasi agar acara tetap berjalan dan kondisi Martha tidak makin parah.

Belum sempat Freya bicara, Michelle keluar dari kamar dan menghampiri mereka. Tak ada senyum di wajah yang biasanya ceria itu.

"Ce Martha belum selesai dirias. Ci Amy agak kesulitan karena berkeringat terus."

Freya melirik smartwatch di tangan kirinya. Pukul 06.35, dan mempelai belum siap sama sekali. Biasanya, Freya akan mendesak krunya untuk bergerak cepat agar acara-acara berikutnya tidak makin molor. Tapi, situasi saat ini jelas berbeda. Mana mungkin dia memaksa Martha untuk segera sehat?

John beranjak dan duduk di sofa yang ada dalam ruang tamu suite itu. Badannya agak membungkuk dan kedua tangannya bergerak gelisah, mengusap celana pendek yang dia kenakan.

"Jadi, gimana, Frey? Tata pasti bakal ngotot lanjutin acara, padahal mungkin dia nggak kuat," ucap John lirih. Kepalanya tertunduk menatap lantai.

Freya mendekati John dan berjongkok di hadapan laki-laki itu. Hari ini seharusnya menjadi hari penuh kebahagiaan bagi John dan Martha, bukan penuh kegelisahan dan ketakutan.

"Kesehatan Tata adalah prioritas utama. Nggak usah khawatir. Kita akan buat penyesuaian. Acara yang harus ada, akan dieksekusi seefisien mungkin. Hal-hal yang sifatnya tidak esensi, bisa kita geser."

John menatap Freya dan mengangguk. "Please do so, Frey. Pokoknya bikin dia nyaman. Kalau dia ngotot, kamu boleh marahin dia."

Freya tersenyum. "Nggak bakal aku marahin, tapi langsung kupaksa dia ikut."

Tawa kecil lolos dari mulut John. "Kami ikut saja perubahan yang kamu atur. We trust you."

"Tenang saja. Nanti Edwin akan temani kamu dan info penyesuaian jadwal. Untuk keluarga, aku akan info kokonya Tata dan kokomu ya."

Selama persiapan, keluarga John dan Martha sangatlah suportif. Bahkan kakak laki-laki Martha dan kakak laki-laki John, yang menjadi narahubung keluarga, mengikuti technical meeting Senin lalu. Paling tidak, mereka akan menolong agar koordinasi dapat dilakukan dengan baik.

Blossom in the LightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang