Servino bergegas menghampiri Ibunya yang dia coba terka dari sorot matanya tadi, Ibu Servino bisa jadi kecewa karena pendapatnya tidak lagi dihargai oleh Ayah mereka. Servino dengan gerakan hati-hati berupaya menggeser daun pintu dan melangkah masuk tanpa menimbulkan suara berisik agar Ibunya bisa menangis dengan tenang. Tidak ada pria bernama Agra di sini, sehingga Ibunya bisa mencurahkan isi hati apapun kepadanya karena Servino tidak ingin Ibunya sampai depresi. Cukup ketika Ibunya mengalami dan melewati fase baby blues, selebihnya Servino hanya ingin Ibunya bahagia.
Bukan masalah penting apabila kebahagiaan Ibunya kini terletak pada tumpuan rencana masa depan Servino. Tidak apa-apa jika hidup Servino harus selalu disetir oleh Ibunya seperti yang pernah dia lakukan dibelakang Ayah, dulu, kepada Aurel. Hanya.. Servino sulit untuk membuat Ibunya bahagia, setidaknya atas memori pernikahan Ayah dan Ibu sebelum lahir Servino dan Aurellya di sini. Meski menjadi anak pertama adalah tanggung jawab, bagi Servino dia mengetahui jika dirinya bisa menjadi beban sungguhan. Servino menghela napas sewaktu Ibunya membuang-buang tisu wajah ke atas lantai kayu yang hangat. Dia tidak bisa menghibur Ibunya tatkala Ibunya butuh, Servino menunduk dalam diam, mengamati sepasang sepatu yang terpasang apik bersama kaus kaki kecil.
"Vino, menurutmu apa Ayahmu itu benci pada Ibu?" Tanya Ibu di sela isak tangis kepedihan kepada Servino. Ibunya pasti menampung segala perkataan Ayah Agra ke ulu hati, makanya sesak. Servino yang sedaritadi membatin seketika kelimpungan mencari-cari jawaban yang sekiranya patut untuk diberitakan kepada Ibunya agar kondisinya kian membaik. Sejujurnya, Servino ingin berkata jawaban yang bagaimana kendati dia sendiri sedang pening atas permintaan Ayahnya untuk tidak ikut menjadi vokalis dan gitaris band lagi. Servino menggaruk tengkuk leher kikuk, bersegera menggeser diri manakala Aurel datang mengetuk pintu, bermaksud ikut campur.
"Ayah memberikan pesan agar Ibu bisa keluar besok. Rumah ini akan mengalami perombakan." Sahut Aurel ketika Vino mempersilakannya masuk.
Baik Servino dan Ibunya yang mendengar kabar tersebut lantas mendelik. Servino kemudian menjaga jarak dari Aurel seolah jijik karena Aurel justru berada di pihak kubu arogan sementara Ibu mereka kini sedang berada dalam waktu sulit. Bisakah Aurel berubah menjadi sosok kekanakan saja agar Servino tidak menyimpan unek-unek kurang menyenangkan? Agaknya Aurel semakin berumur semakin sulit diberitahu mengenai silsilah tahtanya dalam Kartu Keluarga. Servino bersiul sedikit agar Aurel pergi, namun Si Pemilik Nama justru bersikap abai sebelum panggilan dari Ayah terhadapnya mengakibatkan Servino bernapas lega karena berhasil mengusir pergi bocah kematian alias adiknya itu.
Servino menggelengkan kepala heran, sejak Aurellya menjadi dewasa gadis itu semakin sakit. Dia bahkan tidak bertanya apapun perihal keadaan Ibunya seolah menganggap bahwa ini hal yang sangat wajar. Servino tidak habis pikir, tapi dia pun tahu bahwa Aurel begitu akibat ulah Ibunya juga kendati dari sinilah siteru rumah tangga dimulai. Servino mengerti mengapa Ayahnya bersikukuh agar Ibunya bisa menjadi lebih baik daripada mengurus kedua anak yang menghasilkan mereka bersikap tidak sesuai kadar usianya. Dering ponselnya di saku kiri menyebabkan Servino mengangkat panggilan usai Ibunya berhenti terisak.
"Amanda?" Gumam Servino pelan. Benaknya lekas keheranan mengapa Amanda menjadi tiba-tiba bersikap terobsesi kepada Servino. Bukankah pergaulannya sudah sangat sibuk? Servino mendengar dari Ayahnya bahwa setiap anak Menteri tidak diperkenankan keluar masuk dan bergaul secara sembarangan serta tidak terarah. Servino mengepalkan tangan, sulit untuk mendekati wanita ini. Bagaimanapun Servino akui, Ayahnya menang telak atas kenyataan hidup.
"Siapa, Vino?" Tanya Ibunya usai mengamati Servino tidak kunjung mengangkat panggilan tersebut dan justru hendak menonaktifkan ponselnya sementara. Ibunya kemudian berencana bertanya kali kedua sebelum akhirnya Servino pergi menyusul kepergian Aurel, meninggalkan Ibunya mengisak tangis seorang diri di kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
VRIJE STIJL [Semi-Baku]
Ficção AdolescenteAurellya Cameron pikir pertemuannya dengan Gavin Nichols akan membuahkan hasil yang baik, manakala mereka dekat dengan hubungan yang terlalu spesial. Semua orang tampak senang menggunjing mereka sampai keduanya selalu menjadi bahan pusat perhatian...