Bug!
Suara hantaman dinding pembatas serta ringisan kecil terdengar begitu keras ketika siswa-siswi tidak sengaja melewati ruang ganti baju pria.
Menahan rasa sakit, Gavin kali ini mengepalkan tangannya. Kembali menghajar dinding dihadapan dengan kasar. Meluapkan semua emosi yang sudah ditahan olehnya sedaritadi.
Tatapan mata Gavin menajam, menatap tetesan darah beku yang tampak di telapak tangan serta dinding pembatas.Pikiran Gavin spontan melayang memikirkan suatu rencana paling gila yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya. Mengenai perkataan seseorang ketika di lapangan tadi, membuat Bryan seperti ingin melahap orang itu hidup-hidup bak kanibal. Gavin mengacak-acak rambutnya brutal, membuat beberapa tetesan darah ditangan menempel ke dalam helaian rambut hitam pekat miliknya.
Sebuah suara berhasil mengalihkan perhatian Gavin sejenak. Dengan malas, laki-laki itu mengambil benda persegi panjang dari dalam kantung seragam. Tanpa melihat siapa nama orang yang menelfonnya, jari-jemari Gavin langsung menggeser tombol berwarna hijau. Mengangkat panggilan tersebut.
"Halo?"
Sahut Gavin dingin ketika dia menempelkan ponsel ke telinga kanan.
"Woi bro! Ini gue Shandy. Apa kabar lo? Btw, Lo kapan main kesini lagi? Udah lama banget lo ga kesini."
Gavin menyunggingkan senyuman tipis saat mendengar suara sahabat lamanya. Memori terdahulu seketika kembali terulang dipikiran Gavin. Laki-laki itu merasa sangat bodoh karena harus terpaksa mengikuti perintah papahnya. Yang mengharuskan dirinya meninggalkan semua sahabat-sahabat lamanya di Australia.
"Kabar gue baik. Gue gatau. Gue gatau bisa kesana lagi apa engga, dan gue gatau bakal dibolehin kesana lagi apa engga kalo gue bilang sama bokap gue."
Jauh dari jangkauan, Shandy menghembuskan napas berat. Mengerti jika sahabat kecilnya ini merasa sangat tertekan atas penderitaan Papahnya.
"Gue sebenarnya ga ngerasa masalah kalo lo ga kesini, vin. Tapi yang jadi permasalahan gue itu adalah kapan lo bisa nyelesain semua masalah lo? Gue gamau penderitaan lo disana semakin bertambah seiring berjalannya waktu."
Dalam hati, Gavin membenarkan semua perkataan Shandy yang menganggap dirinya sedang menderita karena tekanan sana-sini. Namun dipikiran Gavin, dia justru terlihat keheranan sembari amygdalanya berupaya memikirkan cara agar masalah usai.
"Eh bro, udah dulu ya. Gue disuruh nyokap nemenin Tata ke supermarket nih. Biasalah masalah cewek. Ribet sendiri apa sendiri. Btw jaga diri lo baik-baik disana!"
"Oke. Lo tenang aja, gue bisa jaga diri gue sendiri. Berasa kaya bocah gue diatur sama lo."
Di seberang sana, Shandy yang tampak kesal melihat Tata (Adiknya) tengah bolak-balik berganti pakaian, terkekeh pelan ketika mendengar Gavin asyik berceloteh seperti anak perempuan.
"Lo kan emang bocah, vin. Hahaha. Gue matiin ya sambungannya, line gue jangan lupa lo bales. Berasa hampa tau ga hidup gue tanpa lo disini."
"Najis! Sori ya gue bukan homo, gue masih doyan cewek. Gak kaya lo!"
Tuttt.
Sambungan pun berakhir secara sepihak. Sesuai dengan perkataan Shandy, Laki-laki itu memutuskan sambungannya terlebih dulu tepat saat dia mendengar perkataan Gavin.
Mendengar suara sambungan terputus di ponsel, Gavin langsung meletakkan kembali benda tersebut ke dalam saku seragam sekolah. Pikiran yang selalu membuatnya pusing sekarang sedang coba diabaikan. Gerakan kilat Gavin mengganti baju seragamnya dengan yang baru. Berniat membolos untuk kesekian kalinya setelah dua hari lalu namanya dipanggil secara terhormat ke ruang bimbingan konseling.
KAMU SEDANG MEMBACA
VRIJE STIJL [Semi-Baku]
Подростковая литератураAurellya Cameron pikir pertemuannya dengan Gavin Nichols akan membuahkan hasil yang baik, manakala mereka dekat dengan hubungan yang terlalu spesial. Semua orang tampak senang menggunjing mereka sampai keduanya selalu menjadi bahan pusat perhatian...