L-Ra&fel

912 112 17
                                    

FELICYA

"Kamu yakin di sekolah ini?" Papa menatapku tajam.
Aku, mama dan papa sedang berada di meja makan. Aku memberanikan diri mengatakan keputusanku memilih SMA tujuanku.

"Tidak bisa licya, papa tidak mengizinkanmu pergi ke daerah yang papa saja tidak tahu dimana"

"Aku tidak meminta izin papa, aku memberikan jalan menyelematkan hidupku" jawabku tanpa ragu. Desahan napas mama menengahi ketegangan di meja makan ini. Mama menggenggam lembut tanganku yang mengepal.

"Nduk, papa dan mama hanya khawatir. Kota itu jauh dari Bali, kami pun belum pernah ke kota itu. Kami khawatir apa kamu bisa sendirian di sana"

"Aku bisa ma" sahutku. Mama dan papa saling pandang sebelum memberi keputusan mereka.

"Baik, tapi papa tetap mau kamu ikut les di sekolah itu"

"Terserah Pa"

Usai menyampaikan maksudku. Aku kembali ke kamar.

*****

Hai, aku felicya. Aku biasa di panggil fel, feli atau licya seperti yang papaku lakukan. Walau berperawakan bule, papaku lancar berbahasa. Sedangkan ibuku, logat jawa-balinya sangat kental.

Aku anak tunggal mereka. Kami bertiga tinggal di rumah mewah di pulau dewata ini. Aku banyak menghabiskan waktu sendirian jika sedang tak sekolah, kedua orangtuaku sibuk.

Hari-hari SMP ku sudah berakhir. Memilih sekolah lanjutan jadi perdebatan panjang untuk kami. Bukan karena prestasiku atau nilai akademikku yang jelek. Tapi ada hal lebih penting yang harus diselamatkan. Mentalku.

Ya, aku mendapat guncangan hebat sebelum memasuki semester akhir di kelas IX. Guncangan itu sangat mempengaruhi hidupku dan kedua orang tuaku. Untuk pertama kalinya aku merasakan sakit yang teramat sakit.

Setelah melewati masa sulit. Aku memilih bangkit. Hidup terus berlanjut. Aku memilih sekolah yang sangat jauh dari rumah. Aku benar-benar ingin pergi ke tempat baru.

Saat menginjakkan kakiku di sekolah ini. Hal pertama yang muncul di benakku.

"Siapa ini?, sok kenal banget"

Kesan pertamaku bertemu senior bernama RARA. Walau kesannya sok kenal, terlalu ramah, dan banyak senyum, tapi orang ini sepertinya baik. Ia tak menerima uang dariku, ia juga hampir menolak candy dariku.

Karena rara orang pertama yang berbicara padaku di tempat ini. Aku jadi hanya ingin berbicara dengannya. Ia juga tampak dapat bisa dipercaya dan diandalkan. Aku memulai hari- hari pertama ku di sekolah tak jauh dari sekitaran rara, tiap kesempatan aku selalu bertemu dengannya disengaja ataupun tidak.

Kepribadiannya yang luwes dan ramah membuatku nyaman berbicara dengannya. Bahkan menjadi temannya, lalu menjadi muridnya. Tak ku sangka aku dengan mudah memiliki sosok yang bisa menjadi teman, kakak dan guru sekaligus.

K' Rara begitulah nama yang aku buat untuk menandai nomor hpnya. Aku ragu tiap akan membalas pesannya. Aku membacanya, lalu membiarkannya lebih lama lalu membalasnya. Aku khawatir jika terlalu cepat akrab dengannya.

*****

Sore ini kami kembali belajar bersama di kelas rara. Hujan deras kembali datang, kami berdua pun terjebak di kelas. Tapi tak apa, kami bisa bersantai menikmati hujan dan suara berisiknya.

Aku dan rara semakin banyak mengobrol sejak kami pergi berdua menikmati weekend. Kami semakin dekat dan lebih sering bertemu.

Namun, satu hal terjadi sore ini.

Bibir lembut rara bersandar di bibirku. Aku terpaku dengan mata terbuka, aku melihat jelas bagaimana rara menutup kedua matanya. Aku sendiri, aku hanya bingung dan kaget dengan tindakan rara, sedetik, dua detik, Suara detikan jam terdengar jelas. Aku menyentuh pipi rara, berniat menyadarkannya, kami tak boleh terlalu lama berdiam di posisi ini.

CaNdY LoVeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang