16. Dua Tatap

216 30 2
                                    

Hari yang ditunggu-tunggu oleh Jisa dan Lisa pun tiba.

Butik yang sudah Jisa dan Lisa garap sejak beberapa tahun lalu, butik yang mereka kelola perlahan demi perlahan akhirnya mulai menunjukkan titik terbaiknya. Meledaknya permintaan dan baiknya ulasan balik dari para pembeli membuat Jisa dan Lisa mantap membuka butik fisik pertama mereka dengan nama brand yang mereka buat sendiri. Memulai dari bawah, dari 0, dari bukan apa-apa meski mereka adalah "apa-apa". Dan butik ini pun mereka yakin bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari semuanya.

Di sore hari kota Jakarta yang panas, ruangan dengan dua lantai ini justru dingin dengan pendingin udara yang menyala dan bekerja dengan baik. Sekerumun manusia dengan pakaian terbaik yang mereka punya berbincang satu sama lain dengan gelas di tangan. Satu-dua tengah mengunyah hidangan yang tersaji. Lainnya melihat-lihat koleksi yang ada, merasa tertarik. Mereka adalah para tamu Lisa dan Jisa dari berbagai kalangan. Yang membuat luar biasanya, semuanya berbaur dan berbincang satu sama lain seolah tanpa sekat. Lupa bahwa saldo di rekening mereka berbeda, atau mungkin jauh lebih fantastis dari yang lawan bicaranya kira.

Tak terkecuali para sahabat Jisa dan Lisa, Jeni, Roseanne, Jeffrey, dan Johnny juga turut hadir memeriahkan hari ini.

Roseanne tampil dengan elegan dengan dress panjang hitam tanpa lengan segera berhambur ke pelukan Jisa dan Lisa secara bergantian, menyalurkan rasa bangganya. Tangannya lembut menepuk kedua lengan sahabatnya itu. "Gue bangga banget sama kalian! Kalian berani banget ngambil step yang nggak pernah kalian ambil sebelumnya."

Jeni mengangguk, mengamini kalimat Roseanne. "Mana design butiknya bagus banget. Buatan siapa sih ini?" Mata Jennie melihat sekeliling.

Jisa memutar bola matanya. "Lagi memanfaatkan situasi buat bikin Johnny jealous, kah?"

Sontak seluruh tatapan menuju kearah Johnny yang sedang menatap sekitar dengan kedua tangan yang ia masukan kedalam saku. Sadar seluruh atensi mengarah kepadanya, Johnny segera menggeleng, wajahnya terlihat bingung. "Sumpah, gue diem."

Tawa merekapun pecah. Meski setelah Johnny dan Jeni resmi putus— mungkin nggak akan balikan lagi, setelah Jennie dekat dengan lelaki lain meski tidak berlanjut setelah keduanya pulang ke Indonesia, Jeni dan Johnny memang tetap akrab sebagai teman baik sebagaimana mereka dulu. Namun, bukan sebuah circle namanya kalau tidak pernah menjadi objek celaan.

Setelah satu-dua kalimat penuh canda lainnya, Jisa berinisiatif mengajak para sahabatnya ini untuk berkeliling. Menunjukkan berbagai rak penuh baju dengan berbagai motif dan model. Sesekali Lisa juga membanggakan bahwa model ini rancangan tangannya sendiri dan sedang menjadi tren, juga keduanya bisa mendapatkan harga rendah dari produsen sehinggan bisa menjualnya dengan harga yang juga rendah. "Fashion for everyone. Kita berdua nggak takut rugi karena angka keuntungan yang rendah. At least, kita udah kasih seluruh orang peluang untuk tampil modis dengan budget pas-pasan. Lumayan, dapat hikmahnya." Jelas Lisa.

Langkah mereka menuju rak-rak sepatu yang masih sedikit. Dipajangnya contoh-contoh sepatu, heels, juga sandal berbahan karet di dinding. Jumlahnya memang belum banyak. Lisa dan Jisa berencana untuk menambah jenis dan model jika angka penjualan naik. "Selain itu, harga dari produsen juga masih tinggi. Gue masih cari yang harganya nggak terlalu tinggi supaya harga jualnya juga nggak nyekik customer."

"Gue punya kenalan produsen sendal kaya gini, Lis" Jeffrey angkat bicara, tangan dan matanya menelaah sendal karet dengan model yang terlihat futuristik namun tetap nyaman dipakai. "Terakhir yang gue tau, mereka nggak matok harga tinggi karena bahan bakunya juga mereka hasil recycle. Mungkin bisa jadi alternatif nih supaya ngurangi sampah limbah plastik."

Cerita BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang