Aku melihatnya merogoh ke saku belakangnya, rasa penasaran merayap dalam pikiranku, membangkitkan antisipasi yang tak bisa kuabaikan. Apa lagi yang dia siapkan untukku kali ini? Dari sakunya, dia mengeluarkan sebuah kalung, yang di ujungnya terdapat tali panjang. Kilauan logam pada kalung itu terlihat menakutkan sekaligus menarik perhatianku. Tanpa sepatah kata pun, Herman dengan tenang memasangkan kalung itu ke leherku, gerakannya perlahan namun pasti. Sentuhan dingin logam menyentuh kulitku, menimbulkan sensasi yang asing namun dalam, seolah-olah kalung itu mengukuhkan suatu ikatan baru yang tak terucapkan antara kami.
Saat kalung itu terpasang, aku menyadari sesuatu. Ini bukan hanya sekadar perhiasan atau aksesori biasa. Ini adalah simbol dari sesuatu yang lebih dalam—sebuah pengingat visual akan kendali penuh yang kini dipegangnya atas diriku. Herman menggenggam ujung talinya dengan mantap, menguji cengkeramannya seperti seseorang yang baru saja memastikan kepemilikan atas barang yang sangat berharga. Aku bisa merasakan napasku tertahan di tenggorokan, sebuah campuran antara ketakutan dan penyerahan total.
Dia berdiri, menarik talinya perlahan, membuat leherku terangkat secara otomatis. Aku terpaksa menatapnya, memandang langsung ke wajahnya yang tersenyum dengan kepuasan yang jelas terpancar. "Kamu udah siap sekarang," katanya, nada suaranya rendah namun penuh dengan kepastian yang tidak bisa dibantah. Mata kami bertemu sejenak, dan dalam tatapan itu, aku melihat cerminan dari semua yang telah terjadi. Aku masih berlutut di depannya, tubuhku menegang oleh antisipasi sekaligus kepasrahan. Suaranya adalah komando yang tidak bisa aku tolak, tidak ada pilihan, dan aku hanya bisa mengangguk patuh. Ada sesuatu yang aneh dalam dadaku—rasa gembira yang asing, sekaligus meresahkan, namun tidak bisa kuabaikan.
"Ikut aku," ucapnya lagi, kali ini lebih tenang, namun tak ada keraguan dalam otoritasnya. Herman berbalik dengan gerakan yang santai namun pasti, mulai berjalan pelan di depanku. Aku mengikutinya, tapi kali ini bukan dengan langkah kakiku yang biasa. Dengan insting yang dipandu oleh tali di leherku, aku merangkak di belakangnya. Setiap gerakan terasa alami, seolah tubuhku tahu persis bagaimana harus merespons tanpa harus berpikir. Aku merangkak seperti hewan peliharaan yang setia, mengikuti setiap arah talinya tanpa mempertanyakan ke mana kami akan pergi.
Sensasi baru ini, perasaan tunduk total dan penyerahan diri, begitu mendalam dan intens. Setiap kali dia menarik talinya, tubuhku merespons seketika. Tidak ada lagi keputusan, tidak ada lagi kehendak, hanya satu tujuan: mengikuti, taat tanpa syarat. Ketidakpastian tentang tujuan kami justru memunculkan kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Setiap langkah yang kuambil di belakangnya membawa diriku lebih dalam ke dunia baru yang dia ciptakan untukku, dunia yang penuh dengan penyerahan dan kontrol.
Aku tidak tahu ke mana dia membawaku, dan anehnya, aku tidak peduli. Justru dalam ketidaktahuan ini, ada kenikmatan yang aneh dan mendalam. Setiap detik yang berlalu, setiap gerakan tubuhku yang tunduk di belakangnya, semuanya semakin menegaskan bahwa hidupku sekarang hanyalah untuk mengikuti perintahnya. Aku suka perasaan ini, perasaan sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi pertanyaan, hanya penyerahan total.
Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio.

KAMU SEDANG MEMBACA
Terjerat Hutang
Ficción GeneralNamaku Arman, seorang suami yang sangat mencintai istriku, Rina. Hidup kami sederhana di kota kecil yang tenang, dengan impian membuka toko kecil untuk kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika modal menjadi hambatan, kami terpaksa meminjam uang dari...