Takdir Menjadi Perempuan | Part 10 | Benih Cinta

479 2 0
                                    

Suasana pasar pagi itu begitu ramai dan semarak. Kami berjalan dari satu kios ke kios lainnya, berbincang tentang banyak hal. Percakapan kami begitu mengalir, dari topik yang ringan hingga yang lebih dalam. Ustadz Yusuf tampak lebih santai dan mulai berani menanyakan hal-hal yang lebih pribadi.

"Rahma, hubunganmu sama Mbak Dwi itu apa sih?" tanya Ustadz Yusuf tiba-tiba, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Aku terdiam sejenak, merasakan kegugupan menjalar di tubuhku. Pertanyaan ini sebenarnya cukup sederhana, tapi jawabannya tidak sesederhana itu. Aku mengumpulkan keberanian untuk menjawab. "Oh, saya sepupu Mbak Dwi, Ustadz. Saya pindah dari kota sebelah untuk tinggal bersamanya," jawabku berbohong, tapi, mencoba terdengar meyakinkan.

Ustadz Yusuf mengangguk, tampak puas dengan jawabanku. "Pantesan kalian terlihat sangat akrab. Pindah ke sini pasti butuh adaptasi, ya?"

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. "Iya, Ustadz. Tapi Mbak Dwi sangat membantu, jadi saya bisa menyesuaikan diri dengan cepat."

"Oh begitu," kata Ustadz Yusuf. "Terus, orang tua kamu gimana?"

Aku merasakan kesedihan mengalir sejenak sebelum menjawab. "Kedua orang tua saya sudah meninggal waktu saya masih kecil, Ustadz," kali ini jawabanku jujur.

Ustadz Yusuf menatapku dengan penuh simpati, wajahnya tampak terkejut dan prihatin. "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Maaf, Rahma. Saya nggak tahu. Pasti berat ya, kehilangan orang tua di usia muda."

Aku mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut mataku. "Iya, Ustadz. Tapi Alhamdulillah, saya punya keluarga yang selalu mendukung, terutama Mbak Dwi. Dia yang selalu ada untuk saya."

Ustadz Yusuf tersenyum lembut, tampak terharu dengan ceritaku. "Mbak Dwi memang orang baik. Kamu beruntung punya dia. Pasti banyak hal yang diajarkan oleh Mbak Dwi ke kamu, ya?"

Aku tersenyum, merasa sedikit lega. "Iya, Ustadz. Mbak Dwi banyak mengajari saya tentang kehidupan, masak-memasak, dan juga bagaimana menjadi kuat."

Aku tersenyum, merasa sedikit lega. "Iya, Ustadz. Mbak Dwi banyak mengajari saya tentang kehidupan, masak-memasak, dan juga bagaimana menjadi kuat."

Percakapan kami berlanjut, dengan hal yang lebih ringan untuk mencairkan suasana, dia bertanya tentang kesukaanku dalam memasak dan bagaimana aku mulai terjun ke bisnis kuliner.

"Rahma, sejak kapan kamu suka masak? Masakan kamu selalu enak, pasti udah lama belajar masak, ya?" tanya Ustadz Yusuf sambil memeriksa sayuran di kios.

Aku tersenyum dan memutuskan untuk menjawab jujur kali ini. "Saya baru suka masak beberapa bulan ini aja, Ustadz. Saya juga ikut kursus masak."

Ustadz Yusuf tampak terkejut. "Wah, baru beberapa bulan tapi udah jago banget. Pasti kursusnya bagus dan kamu memang berbakat, Rahma."

Aku tertawa kecil. "Alhamdulillah, Ustadz. Saya banyak belajar dari kursus dan juga praktek langsung. Sebenarnya, saya merasa masak itu seperti terapi buat saya, jadi saya benar-benar menikmati setiap prosesnya."

Ustadz Yusuf tersenyum lebar. "Bagus sekali. Saya rasa masakan yang dibuat dengan hati pasti hasilnya lebih enak. Kalau begitu, pasti acara Maulid Nabi nanti akan sukses besar dengan bantuanmu."


Baca selengkapnya di https://karyakarsa.com/auliashara atau klik link di bio. 

Takdir Menjadi PerempuanWhere stories live. Discover now