27. Who's the red flag? 🚩

2.3K 112 4
                                    

Semua hal yang terjadi memang perlu dibicarakan. Dan kejadian yang kemarin di tempat gym menjadi pembelajaran juga membawa kesadaran baik bagi Brisella maupun Aarav. Hubungan baik yang awalnya mereka mulai, tidak pernah terprediksi jika akan jadi begini.

Sepulang dari tempat gym, Brisella menangis meraung-raung merasa bersalah atas apa yang dia lakukan. Baik itu soal memutus Aarav secara sepihak atau soal olokannya yang mengada-ada. Brisella stres dan ingin Aarav mengerti bahwa tujuannya seperti itu sebab dia rindu kepada lelaki itu. Brisella tidak ingin Aarav dimiliki wanita lain, juga tidak ikhlas jika Aarav harus move on darinya secepat itu.

Bukan saya yang meninggalkan kamu.

Kalimat itu terus bergaung di kepala Brisella. Dia ingin memperbaiki semua hal agar hubungannya kembali menjadi akur pada dosen sastra tersebut.

Setelah menyingkirkan gengsinya yang setinggi langit, Brisella berinisiatif ingin mengajak pria itu bertemu melalui pesan teks dan membicarakan semua tentang mereka, tetapi Aarav menolaknya. Aarav tidak ingin ada interaksi, Aarav juga seakan tidak sudi menemui mantan kekasihnya tersebut. Dan itu sungguh mengecewakan bagi Brisella.

Tidak tinggal diam, Brisella sudah tidak mau memikirkan hal lain lagi. Toh jarak unit apartemen mereka hanya tiga pintu saja, mereka tetangga dan Brisella bisa datang kapan saja.

Meski muncul rasa ragu dan takut, tetapi Brisella tetap datang ke sana. Dia berdiri tepat di depan pintu unit milik pria itu dan bersiap mengetuk pintu, tetapi... konflik dalam batinnya sungguh mengganggu. Di sisi lain Brisella malu, di sisi lain Brisella juga ingin bertemu Aarav.

"What should I say when I see him?" gumam Brisella pelan. Menyugar rambutnya secara sukar, Brisella berniat mengurungkan niatnya, tetapi belum beranjak pergi dari sana. "What should I---"

Krrkk...

Pintu terbuka dan muncul Aarav di sana sambil memegang kantung sampah yang tidak seberapa besar di tangannya.

"What?" Aarav menautkan alis tidak mengerti sebab tiba-tiba menjumpai Brisella tepat di depan pintu unitnya berdiri bagai orang bodoh. Wajahnya yang ayu begitu Aarav rindukan, sepasang mata bulat yang terkejut itu mendelik kebingungan begitu mereka saling bertemu tatap. Kelihatan sekali Brisella mendadak tergagap karena Aarav muncul tiba-tiba di hadapannya.

"Sedang apa di depan pintu saya?" tanya Aarav menelisik curiga.

"Anuuu..." Aarav dapat melihat Brisella nampak ketakutan dan meneguk ludah dengan susah payah sebab dia tidak tahu harus menjawab apa. "Itu..."

"Tolong bicara yang jelas. Ada apa? Kenapa kamu berdiri di depan unit saya?"

"Saya... saya..."

Aarav nampak menghela nafas lelah, kemudian menggaruk sisi alisnya yang tidak gatal. Perempuan memang benar-benar sulit dimengerti dan tidak mau terus terang.

"Saya... ada yang mau saya omongin." Meski terbata-bata, tetapi Brisella tetap memberanikan diri. "Saya mau jelasin beberapa hal."

"Soal apa?" tanya Aarav.

"Soal kita berdua," balas Brisella. "Tentang kita."

"Apa lagi? Bukannya kita sudah selesai?" Satu hal yang menjadi kelemahan Aarav, dia tidak sanggup menatap mata bulat yang jernih itu dengan sorotan memelas yang memporakporandakan jiwanya. Brisella hanya diam menatapnya, namun tatapan itu seolah berbicara pada Aarav dan nampak memohon. Pada akhirnya Aarav lah yang kalah. "Baik, masuk dulu kalau begitu. Tidak baik bicara di depan pintu."

Brisella mengangguk paham, gadis berkaus rajut oversize abu-abu tersebut menurut dan melangkah maju untuk masuk ke unit pria itu. Suasana di antara mereka sangat canggung dan Brisella tidak bisa membendungnya. Namun, dia harus membicarakan hal ini meski degub jantungnya bertalu-talu.

Hey, BriselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang