1. 📝 Begin 📝

14.6K 344 4
                                    

"Ouch!" Sialan adalah kalimat pertama yang ingin keluar dari mulut manis gadis berambut panjang bergelombang itu. Tugas kuliah dengan target nilai minimal B itu dilempar oleh dosen sastra menyebalkan tepat mengenai wajahnya. Dia sudah berusaha, tetapi hasilnya selalu sama, tidak pernah lebih tinggi dari harapannya.

"Buat ulang," tukas si dosen dengan nada datar namun penuh kharisma. Kedua mata indah dengan bulu mata lentik di balik kacamata retro ala-ala hype beberapa tahun belakangan itu tak beralih dari buku nilai yang sedang dilihatnya di meja. Dia seakan tidak sudi memandang raut sedih dari mahasiswinya yang sejak dulu tidak bisa diharapkan perihal nilai itu. Lagi-lagi F.

"Baik," jawab Brisella tanpa melawan. Kemudian memungut hasil tugasnya yang sejak tadi sudah jatuh sampai ke lantai. Dengan langkah gontai dia berbalik dan menuju kursinya, dia tidak tahu harus dengan cara apa lagi. Belajar sudah dilakukan dengan maksimal, dia melakukan riset, bergadang sampai wajahnya muncul garis halus, lalu minum kopi sampai asam lambungnya naik. Tetapi tidak ada perubahan dalam nilai mata kuliahnya yang ini.

Brisella tidak pernah menyangka jika sastra ternyata sesulit itu.

Dia benci melihat si dosen perfeksionis sialan yang selalu melempar hasil tugasnya--dan selalu tepat mengenai wajah. Tidak bisakah dia berbaik hati sekali dan mengapresiasi hasil kerja Brisella yang susah payah dicapainya itu. Kenapa ada manusia yang kerjanya hanya mempersulit orang lain? Kenapa dia tidak enyah saja? Dasar tukang menyusahkan!

"Saya akan memberikan tugas lagi untuk jam terakhir, kumpulkan minggu depan. Deadline akan saya umumkan di grup chat. Selamat siang." Si dosen killer itu berujar datar, sesekali menyapu pandangan ke seluruh mahasiswa yang duduk memenuhi ruangan kelas. Tidak ada pengecualian dalam mengerjakan tugas. Dia akan sangat paham mana yang menyontek dan memakai joki, dan mana mahasiswa yang mengerjakan sendiri. Pria itu seperti dukun dan perkiraannya selalu tepat sasaran.

"Berarti tugas lo nambah dong, Bri?" tanya Fasha yang duduk di depan gadis itu.

Brisella menghela nafas, benci mengakui kebodohannya yang entah berasal dari mana. "Iya, dan gue rasanya mau nyerah aja!" Brisella menatap sedih tugasnya yang tidak mendapat nilai sesuai target. Dia harus mengulang yang mana memakan waktu lebih lama lagi.

"Sst...pake joki aja udah." Fasha memberikan isyarat dengan bisikan kecil, dia juga merasa iba sebab tahu Brisella sudah melakukannya sekuat tenaga.

Brisella melotot kesal pada sahabatnya. "Yang ada dia tahu duluan, ntar gue malah nggak bisa ikut kelasnya dia lagi. Nyebelin nggak sih? Pengen rasanya gue iket tuh orang ke pohon kapas yang banyak durinya. Biar ngerasain sakit kayak gue!"

Fasha tertawa renyah. "Ide bagus. Mending sekarang kita pergi ke coffee shop aja. Beli kue kronologi kesukaan lo."

"Cromboloni, anjrot!!" tegas Brisella sembari mencak-mencak. "Lo jangan sampe gue pukul ya!" Hari ini benar-benar menyusahkan, tugasnya belum rampung dan dia ditimpa tugas lain lagi. Andai tubuhnya bisa dibagi dua, dia pasti bisa mengerjakan semuanya.

🐧🐧🐧

Matahari sudah tidak menampakkan sinarnya yang menyengat seperti saat pukul 12.30 siang tadi, menjelang petang suasana kampus tampak sepi karena beberapa mahasiswa sudah bergegas sejak tadi untuk pulang.

Brisella memilih duduk di trotoar dekat halte depan kampusnya. Wanita 20 tahun itu memandang lurus ke arah jalan, harusnya dia sudah tiba di apartemen sejak 20 menit lalu. Namun Brisella tidak bersemangat lagi rasanya. Dia ingin menghilang dan melupakan tugas kuliah sejenak, semuanya seakan menjadi beban untuknya.

Penat. Menghela nafas lelah, dia duduk memeluk lututnya di sana. Beberapa tetes bulir bening dari sudut matanya mulai keluar membasahi tanah. Dia sedih jika lagi-lagi mengingat hal seperti di kelas tadi.

"Capek!" keluhnya sambil mengusap air mata. "Nggak bisa apa hargai tenaga gue! Kenapa harus F lagi F lagi."

Raungan kian tidak bisa Brisella tahan lagi, dia menangis di trotoar tanpa rasa malu seperti anak kecil yang kehilangan permen.

"F means FUCK!" geram Brisella setelahnya. "Dasar dosen tua bangka sialan!"

Sialnya dia tidak menduga jika kalimat itu didengar oleh si pemberi nilai. Ada embel-embel tua bangka pula.

"Apa?" sambut seseorang.

Aarav Adyaksa sedang menatapnya sambil berdiri. Kerutan di dahinya tampak dengan sangat jelas. Pria setinggi 191 sentimeter itu mencoba untuk mengerti arti kalimat tadi--meski dia sebenarnya tahu artinya. Hanya saja, dia butuh penjelasan, kenapa harus kata itu? Untuk kalimat berikutnya dia tidak terlalu peduli, tetapi yang pertama cukup mengganggu Aarav dalam sepersekian detik sebab itu adalah nilai menurut pengamatannya.

Brisella mendogak dengan rasa terkejut luar biasa, kedua matanya yang basah akan air mata diusap kasar lalu bangun dari duduk serampangannya itu. Dia terkejut, speechless dan tidak menyangka jika si dosen brengsek itu menguping umpatannya barusan.

"Kamu bilang nilai saya apa?" tanya Aarav dengan suara datar. "Coba katakan lagi."

Brisella menyugar rambutnya, dia tidak bermaksud mengejek, hanya saja... dia terlanjur kesal dan sangat marah. Refleknya dia mengumpati nilai itu, tidak tahu jika Aarav ada di sana dan mendengarnya mengumpat.

"Bukan gitu, Pak. Saya cuma ngikutin lagu kok. Itu... yang itu... hmm..." Dari sorot matanya, Aarav bisa menebak jika Brisella sangat panik.

"Kamu marah kepada saya karena saya memberi nilai F?" tanya Aarav dengan tenang. "Kamu tahu letak salahnya ada banyak sekali, dan saya memberikan kamu kesempatan untuk meperbaikinya. Hanya itu," sambungnya lagi memberi pengertian.

"Aduh, Pak! Saya nggak menghina nilai Bapak, dan saya nggak marah, kok!" jawab Brisella membela diri. "Udah ya, Pak. Saya harus pulang, Mama saya pasti nunggu."

Brisella berjalan cepat dari hadapan Aarav dan melipir pergi. Bohong soal mama, dia tinggal sendiri dan mama berada di Surabaya. Namun mantra aji pamungkas itu sering digunakan dan siapa saja akan percaya.

"Anjir goblok!" Brisella memukul kepalanya. "Kok bisa sih dia ada di sana! Hampir aja jantung gue turun sampe lambung."

"Bri!" panggil seseorang di belakang tubuhnya. Langkah cepat yang semula Brisella ayunkan mendadak berhenti saat panggilan itu menginterupsi. Memejamkan mata sebab tak menyangka akan dipanggil, gadis itu berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol ekspresi wajahnya yang sebenarnya kentara takut.

Dia dengan hati-hati menoleh ke belakang, wajahnya sudah ciut sekali. Takut kemungkinan dia di-blacklist dari daftar mahasiswa dalam kelas dari si dosen sok itu.

Brisella menjawab dengan nada pelan, "iya, Pak? Saya minta maaf, sekarang saya mau pulang. Jangan hukum saya dulu. Besok aja."

"Saya tahu," balas Aarav masih dengan nada tenang. "Sudah sore, mau saya antar?"

Kedua bola mata Brisella menonjol kaget saat pria yang seperti sedang cosplay menjadi tiang listrik itu menawarkannya untuk pulang bersama.

"Kita satu arah. Dan..." ada jeda dari kalimat Aarav, "ada yang ingin saya sampaikan."

Brisella tidak dapat menyembunyikan ketakutannya lebih dari pada saat ini. Saat pria itu berjalan mendekatinya, wangi white musk menyerobok indera penciumannya secara perlahan. Jarak tinggi mereka jomplang bak manusia dengan liliput. Pria itu berdiri tegap, di hadapan Brisella yang membuat gadis itu ingin lari saja menyelamatkan diri dari kejaran manusia setengah titan itu.

"Gimana nih?" gumam Brisella panik.

Tbc

Hai hai hai, aku ada cerita baruuuuu 🙂😌

Ini novelet ya, jadi keknya gak bakal panjang-panjang amat dan lagi-lagi ceritanya ringaaaannn *gak janji sih wkwkw

Kisah uwu-uwu icikiwir antara dosen dan mahasiswi yang akan menghibur kamu semua ❤ jangan lupa vote dan komen ya, selamat membaca yorobundeul

X, Bulan

Hey, BriselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang