38. Epilog 💘

4K 155 16
                                    

Meski sudah diberi tahu sejak enam bulan lalu bahkan bertemu dalam waktu beberapa bulan ini, tetapi keputusan anaknya tetap terasa mengejutkan dalam benak Marini Pancawati. Anaknya yang dia besarkan dengan penuh kasih sayang, dan empat tahun lalu secara paksa dipisahkan dari lelaki itu kini ngotot ingin melaksanakan pernikahan.

Brata--suaminya juga turut hadir dalam pertemuan ini. Lelaki itu sudah tahu mengenai keputusan nekat anak mereka namun sama sekali tidak melarang. Dalam hati Marini dia tidak siap untuk menerima fakta bahwa Brisella dan Aarav kembali bersama sebagai pasangan kekasih. Dia masih tidak rela, putri kecilnya menjalin hubungan dengan pria yang 20 tahun lebih tua.

Ancamannya saat itu tidak mempan, dan suaminya selalu menjadi garda terdepan bagi Marini untuk mengikhlaskan pilihan anaknya walau itu sulit.

Selesai makan malam bersama tiga puluh menit lalu, Aarav diajak oleh Brata untuk mengobrol banyak hal. Dari mulai silsilah keluarganya, pekerjaan dan hal tentang lelaki lainnya. Keduanya terdengar nyambung saat saling bercengkerama. Ayah Brisella tidak banyak menekan, juga terlihat asyik mengajak bicara Aarav. Lelaki itu punya wawasan yang sangat luas, apa saja yang Brata tanyakan dijawab dengan baik oleh calon menantunya itu.

Sementara Marini dan Brisella berdiri di balkon ruangan lantai dua. Brisella rindu kamarnya ini, sudah bertahun-tahun dia tidak pulang ke Surabaya dan kamarnya menjadi kosong. Namun karena mamanya adalah orang yang cukup bawel, jadi kamar ini masih terawat dan tidak ada yang berubah.

"Mama masih bete ya?" tanya Brisella pada ibunya yang diam saja sejak tadi. Marini menoleh ke arah kiri, menatap putrinya yang berdiri di sebelah dengan raut sedikit takut. Wanita itu mengembuskan nafas panjang, kemudian mengulurkan tangan kiri untuk mengelus surai panjang putrinya.

"Kamu anak yang keras kepala ya," kata Marini. "Padahal Mama udah kirim kamu ke Singapura untuk ngelupain lelaki itu. Tapi, kayaknya emang kamu yang cinta banget sama Aarav sampai nekat begini."

Wajah Brisella otomatis menunduk, dia menggigit kecil bibirnya dan raut sedih tidak bisa disembunyikan.

"What's makes you so freaking fall for him? He has a big dick, ya?" tebak Marini asal. Wanita itu berbalik kemudian mengambil satu kotak rokok dari balik vas yang sudah disimpan sejak lama. Kemudian mengeluarkan satu batang nikotin dan menyelipkannya ke ujung bibir.

Brisella reflek menoleh dan menautkan alisnya, namun beberapa detik setelah itu senyum malu dia tampilkan kala sang mama menebak hal apa yang membuat Brisella begitu menyukai Aarav.

"Bukan ya," bantah gadis itu.

Marini memantikkan korek api ke ujung rokok yang terselip di ujung bibirnya, kemudian kembali menanyakan hal yang sama setelah mengisap asap rokok itu. "Have you ever see it? Jujur aja nggak usah malu. Kamu harus terbuka sama Mama kalau mau Mama merestui kalian."

"Ih, Mama! Kok jadi bahas itu!" Kedua pipi Brisella reflek memerah, dan ibunya merespon dengan senyuman meledek. "Hmm, just little bit I think..."

"Oh, kamu nakal. Pernah tidur sama dia?"

Brisella langsung memberi gestur tangan berbentuk X dan menggeleng kepada sang ibu. "Ma, listen, pertahanan dia kuat banget. Aku berani sumpah aku nggak pernah ngapa-ngapain sama dia. Dianya juga nggak mau walau udah digodain kayak gimana. Dia bilang lelaki baik nggak asal sentuh sembarangan kalau belum sah."

"Oh, lelaki idealis. Kayak Papa kamu." Marini kembali mengisap rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. "Mama percaya kok. Kita sudah buat kesepakatan dulu, dan kamu tau Mama orang yang konsisten sama janji itu."

"Hmm, Mama terpaksa ya?" tanya Brisella takut-takut. Ibunya itu menggeleng, dia diam sambil mengisap rokok yang tinggal tersisa setengah dan menatap ke atas menghadap langit malam yang hari ini begitu apik ditaburi banyak bintang.

Hey, BriselleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang