Katanya mimpiku 'kan terwujud
Mereka lupa tentang mimpi buruk
Tentang kata maaf, sayang aku harus pergi
Sudah kuucap semua pinta
Sebelum ku memejamkan mata
Tapi selalu saja kamu tetap harus pergi; Rumpang, Nadin Amizah
***
Hari sial tidak ada di kalender. Teori itu semakin terdengar masuk akal setelah aku beranjak dewasa. Di kehidupan yang sibuk ini, akan sangat merepotkan jika siapa pun tahu kapan dirinya ketiban sial. Produktivitas tidak lagi menjadi tujuan utama, semua orang fokus mencari cara agar kesialan yang diramalkan tidak terjadi.
Akan tetapi, hidup ini memang tidak pernah terlepas dari pro dan kontra. Beberapa orang mungkin tidak suka bila hari sial ada di kalender, namun beberapa lainnya mungkin akan sangat bersyukur jika situasi tersebut benar-benar nyata. Dan di antara semua orang itu, tersisa sekelompok kecil yang tidak pro maupun kontra. Aku salah satunya.
Sejujurnya, aku tidak terlalu peduli apakah hari sial tercatat di kalender atau tidak. Bagiku, hari sial datang setiap hari.
"Sialan!"
Aku jarang mengumpat. Tetapi, saat melihat sol sepatu bagian depanku sedikit menganga pagi ini, aku tidak dapat menahan diri. Demi Tuhan, rasanya frustrasi sekali melihat barang yang sering kupakai rusak di saat kondisi dompetku sedang tidak baik-baik saja. Satu-satunya penyelamatku adalah tukang sol sepatu, namun tidak mudah menemukannya di sekitar sini. Apalagi, waktu yang kumiliki tidak banyak.
Gara-gara terlalu asik mencurahkan isi hatiku pada Rhea semalam, kami baru tidur pukul dua pagi, dan akhirnya aku bangun kesiangan. Tidak terlalu siang sebenarnya, tapi cukup untuk membuatku panik. Boleh dibilang, ini pertama kalinya aku baru bangun pukul setengah tujuh, padahal kelasku dimulai pukul tujuh.
Beruntung semester ini Rhea lebih banyak mengambil kelas jam siang, jadi sekarang dia masih bisa meringkuk di dalam selimutnya. Sedangkan kelasku hampir seluruhnya pagi karena memang sengaja aku sesuaikan dengan jadwal kerja sambilanku di kafe sebelumnya—yang untungnya sama dengan jadwal kerjaku di Kafe Bang Kribo. Jadi, meskipun mataku masih berat sekali dan sol sepatuku sedikit menganga, nekat tetap kulajukan motorku ke kampus.
Untungnya motorku sampai di parkiran kampus tepat sebelum bel tanda kelas dimulai berbunyi. Setidaknya, aku masih memiliki waktu untuk sampai di kelas tanpa perlu memperagakan adegan lari-lari seperti di Film Train To Busan dan membuat kondisi sol sepatuku semakin parah.
Aku menaiki anak tangga menuju ke kelasku yang berada di lantai teratas dengan langkah super hati-hati. Saat mencapai lantai dua, tiba-tiba Prof. Nunung muncul dari ruang dosen dan berjalan bersisian denganku. Sebagai mahasiswa yang dijuluki penjaga kampus karena selalu datang kepagian, aku belum pernah terjebak di situasi secanggung ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Itu Sia-Sia
Romance"Apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Sejak kecil Kaluna telah menyaksikan orang-orang yang dia cintai memilih pergi meninggalkannya. Hingga Kaluna menjadi skeptis pada cinta dan memilih menutup pintu hatinya rapat-rapat...