Sebelas; Seorang Pengecut

755 170 19
                                    

Sudikah kiranya kauMengizinkan dirikuUntuk sejenak berkunjung ke dalam hatimu?Pastikan ku ada di sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudikah kiranya kau
Mengizinkan diriku
Untuk sejenak berkunjung ke dalam hatimu?
Pastikan ku ada di sana

; Ada Di Sana, Danilla Riyadi

•••

Memaafkan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang bernyali besar. Dan aku... terlahir sebagai seorang pengecut.

Semua ini gara-gara Bunda, sifat burukku diturunkan olehnya. Bunda itu pengecut, terbukti Bunda tidak berani menyalahkan dirinya sendiri dan lebih memilih membenciku—padahal, aku adalah wujud dari kesalahan yang dia perbuat. Sekalinya bernyali besar, Bunda malah menggunakannya untuk memaafkan Ayah, sosok yang jelas-jelas membuat hidupnya dan hidupku jadi berantakan.

Bunda memang aneh. Aku tidak pernah mampu menyelami isi kepalanya, tidak pernah cukup pintar untuk memahami apa inginnya. Termasuk puluhan panggilan tak terjawab dan pesan yang perempuan itu kirimkan padaku sejak semalam. Aku tidak sempat membaca satu-persatu pesan itu, namun aku tahu Bunda mencariku. Hal yang cukup aneh mengingat Bunda seharusnya senang aku pergi.

Setidaknya, Bunda tidak perlu lagi tinggal satu atap denganku; wujud penyesalannya seumur hidup. Bunda pun dapat memulai hidup baru seperti yang selalu dia idam-idamkan selama ini bersama Pak Adrian, pria antah berantah yang tiba-tiba datang sebagai pahlawan ke dalam hidup Bunda dan terang-terangan ingin menggantikan posisi Ayah—sebagai suami Bunda tentu saja, bukan ayahku. Karena jika iya, aku tidak sudi.

Bukannya aku tidak suka dengan Pak Adrian, aku hanya merasa sudah terlalu tua untuk bermain rumah-rumahan. Lagipula, aku tidak butuh ayah sambung, dan aku enggan terlibat lagi dalam keputusan Bunda. Agar kelak, jika sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, Bunda tidak bisa menyalahkan aku seperti yang selalu dia lakukan sebelumnya.

"Lun?" Panggilan lirih Rhea membuatku berjengit kaget. Aku sudah berusaha tidak menimbulkan suara, bahkan sengaja membiarkan lampu tetap padam agar tidak membangunkan perempuan itu. Akan tetapi, usahaku sepertinya gagal. "Lo udah mau berangkat ke kampus?"

"Iya."

"Jam berapa sekarang?" tanya Rhea dengan mata masih setengah terpejam.

"Jam enam."

Rhea langsung mengerang dengan suaranya yang serak. "Berangkat sepagi ini mau nyaingin siapa, sih, lo? Pak Wisnu?"

Aku mendengus geli saat mendengar Rhea menyebut nama OB paling galak di kampus kami. "Nggak, kok. Gue sebenernya juga mau berangkat agak siang hari ini. Tapi, gara-gara kebiasaan bangun pagi, jadinya jam segini gue udah laper."

Jatuh Cinta Itu Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang