Tujuh Belas; Mengulang Tahun Tanpa Perayaan

907 155 18
                                    

S'tiap detik terlewatiSemoga bisa menyinariDi jalan yang aku pilihHiduplah sebelum mati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

S'tiap detik terlewati
Semoga bisa menyinari
Di jalan yang aku pilih
Hiduplah sebelum mati

; Hiduplah Sebelum Mati—Kunto Aji

***

Jatah air mataku sudah lama habis, semuanya telah aku tumpahkan di masa lalu. Termasuk perasaan-perasaan tidak berguna yang membuatku tak berdaya. Bukan berarti aku tidak bisa lagi merasakan emosi apa pun, melainkan aku memilih menjalani hidup tanpanya. Sebab, hanya itu satu-satunya cara untuk membuatku tetap waras.

Aku berusaha mengabaikan perasaanku selama bertahun-tahun lamanya. Hingga tanpa sadar usahaku berubah menjadi kebiasaan, dan kini... aku kesulitan mengelola emosiku sendiri. Namun, setelah sekian lama tidak mampu mengekspresikannya, air mataku kembali tumpah semalam.

Semua ini gara-gara melodi yang diciptakan oleh Kenan. Petikan gitar laki-laki itu tidak mengungkit kenangan bahagiaku dengan Ayah maupun Bunda, tetapi masa-masa terberat yang harus kulalui seorang diri. Pada momen itu, Aku sering sekali menyalahkan diriku sendiri, dan keinginan untuk menyerah mengusikku hampir setiap hari.

Kesadaran bahwa di dunia ini tidak ada seorang pun yang berada di pihakku, membuatku merasa sangat kesepian. Meskipun aku terbiasa sendirian dan bertekad tidak ingin bergantung pada siapa pun, nyatanya aku tidak cukup hebat untuk mengenyahkan perasaan itu.

"Jadi, menurut lo gimana?" Kenan mencubit-cubit telapak tangannya. Sorot penuh harap, gugup, dan takut terpancar jelas di matanya.

Suasana gazebo saat ini cukup ramai. Meja-meja dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai angkatan dengan aktivitas yang berbeda-beda. Ada yang sibuk berkutat dengan laptop, makan siang, bertukar gosip, dan melamun seperti seorang pengangguran. Tetapi, di tengah keramaian itu, hanya suara Kenan yang terdengar di telingaku, tatapku pun tak mampu berpaling darinya.

"Lo..." Aku berdeham sejenak, memulihkan suaraku yang terdengar serak. "Dapet inspirasi dari mana?"

Ku kira Kenan akan memberikan jawaban yang mengundang decak kagum, tidak tahunya laki-laki itu hanya menggelengkan kepala. "Nggak tahu, random. Tiba-tiba muncul di kepala pas gue lagi mandi."

Rasanya seperti mendapat pukulan keras setelah mengetahui alasanku diam-diam menangis sepanjang malam ternyata hanya karena ide random yang terlintas di kamar mandi. Aku jadi bingung, entah aku yang terlalu sensitif atau Kenan yang genius?

"Kenapa?" Kenan menatap khawatir, sepertinya laki-laki itu menyadari perubahan ekspresiku. "Jelek, ya?"

"Bagus," jawabku jujur. "Vibesnya mirip lagu-lagunya Pamungkas. Tapi, gue belum bisa bayangin terlalu jauh, soalnya nggak ada liriknya."

Wajah Kenan berubah sumringah. "Ini penilaian jujur, kan? Bukan karena lo rikuh sama gue?"

"Lo nggak sepenting itu buat gue rikuhin."

Jatuh Cinta Itu Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang