Kuingat lagi di kamar ini
Kita bermimpi akan menjadi
Angan tak pasti kicau berani
Seperti takdir yang kita tulis; Seperti Takdir Yang Kita Tulis
—Nadin Amizah***
Hidup tanpa mimpi ialah hidup yang paling mudah untuk dijalani. Tidak ada ekspektasi, tidak ada target, tidak ada tuntutan, yang perlu dilakukan hanyalah... tetaplah hidup.
Itulah alasan mengapa orang gila terlihat jauh lebih bahagia dibandingkan orang waras yang hidup dengan memeluk ambisi besar. Sebab, orang gila sudah cukup puas dengan hal-hal kecil yang dia miliki, sedangkan orang ambisius cenderung tidak pernah puas. Semuanya selalu terasa kurang, tidak heran orang ambisius sering menyalahkan diri sendiri atas hal-hal yang tidak mampu dia raih, dan melupakan seluruh usaha maupun pencapaiannya yang lain.
Aku selalu meyakini orang yang berambisi hanya memiliki dua rencana dalam hidupnya; mengusahakan segalanya hingga titik darah penghabisan atau merelakan seluruhnya dan membiarkan ambisinya meradang. Namun, keyakinanku berubah setelah mengenal Kenan, karena laki-laki itu tinggal di antara keduanya.
"Duduk dulu, Lun. Biar gue cariin lemnya," ujar Kenan setelah membersihkan tumpukan brosur yang tadinya berserakan di sofa.
Tanpa benar-benar mendengarkan Kenan, aku mulai menjelajahi ruangan dengan luas menyerupai kamarku itu. Saat ini, kami sedang berada di Studio We Are Number Four—jangan tanya kenapa aku bisa berada di sini, karena setiap kali mengingat alasannya aku ingin mengubur diri.
Singkatnya, Kenan dengan baik hati ingin membantu memperbaiki sepatuku. Sebenarnya kalimat penolakan sudah tertahan di ujung lidahku, tetapi saat mendengar laki-laki itu menjanjikan GRATIS, aku langsung berubah pikiran. Lagian, aku tidak rela membiarkan Kenan terbebas begitu saja setelah mempermalukan aku di parkiran tadi. Minimal dia harus kurepotkan.
Dibandingkan studio musik, tempat ini lebih terlihat seperti gudang. Dari banyaknya partikel debu yang mengendap di rak album dan hampir semua benda, dapat kusimpulkan studio ini sudah tidak dipakai sejak lama. Satu-satunya jejak kehidupan yang masih tampak baru hanyalah bola-bola kertas di tong sampah.
Entah dorongan dari mana, aku tergerak mengambil salah satu gumpalan kertas itu dan membukanya. Aku tertegun selama beberapa detik. Ternyata tumpukan sampah itu berisi penggalan lirik lagu yang belum selesai ditulis. Ada beberapa pengulangan kata yang dicoret asal dengan pulpen, ada juga kata yang dibiarkan menggantung seperti permainan tebak lagu.
"Jangan dibaca."
Teguran Kenan membuatku terlonjak kaget. Aku buru-buru meremas kertas yang sempat kupungut, lalu meletakkannya kembali ke tong sampah. "Sorry..."
"Kenapa minta maaf?" Kenan tersenyum dan untuk pertama kalinya aku lega sekali melihat senyumannya. Kupikir laki-laki itu akan memarahiku karena telah bertindak lancang. "Gue nggak bolehin lo baca karena liriknya masih jelek banget. Belum sempet gue benerin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Itu Sia-Sia
Romance"Apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Sejak kecil Kaluna telah menyaksikan orang-orang yang dia cintai memilih pergi meninggalkannya. Hingga Kaluna menjadi skeptis pada cinta dan memilih menutup pintu hatinya rapat-rapat...