Sembilan Belas; Hiruk Pikuk Yang Membawa Ketenangan

723 143 22
                                    

Untungnya, bumi masih berputarUntungnya, ku tak pilih menyerahItu memang paling mudahUntungnya, kupilih yang lebih susah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Untungnya, bumi masih berputar
Untungnya, ku tak pilih menyerah
Itu memang paling mudah
Untungnya, kupilih yang lebih susah

; Untungnya, hidup harus tetap
berjalan—Bernadya

***

Uang tidak dibawa mati, tetapi uang mampu memberikan hal-hal indah yang membuat pemiliknya enggan cepat mati.

Hanya orang-orang kaya yang menilai uang bukanlah segalanya. Sebab, sepanjang hidup mereka belum pernah pernah merasa kelaparan, memakai baju yang sama berulang kali hingga warnanya memudar, sol sepatu dijahit, patat kebas karena duduk berhimpitan di transportasi umum, dan pengalaman nahas lainnya yang sering dialami oleh orang-orang dengan isi dompet yang tak seberapa.

Sebagai salah satu pemilik isi dompet yang tak seberapa, uang itu segalanya bagiku. Masa bodoh jika aku dijuluki mata duitan, nyatanya hidup tanpa uang rasanya seperti tidak hidup. Apalagi di zaman modern ini, yang hampir semua halnya diuangkan. Jika tidak mata duitan, sudah pasti aku akan berumur pendek.

"Lun, sini tiket lo."

Rhea tengah menengadahkan tangannya, tetapi aku masih mencengkeram tiketku erat-erat. Ada perasaan tidak rela menyerahkan tiket seharga gajiku seminggu itu hanya untuk gelang kertas jelek yang bahkan tidak anti air.

"Lo jadi mau ikut nggak, sih?" tanya Rhea dongkol. Sepertinya perempuan itu mulai muak membujukku menyerahkan tiket sejak—kurang lebih sepuluh menit yang lalu. "Kalau nggak dituker sama gelang itu, lo nggak dibolehin masuk."

Aku menghela napas panjang, dengan berat hati menyerahkan tiketku pada Rhea.

"Finally," cetusnya seraya berjalan cepat menghampiri stan penukaran tiket.

Meskipun tiket ini bukan sepenuhnya milikku, tetap saja rasanya seperti menghambur-hamburkan uang—yah, bukannya aku sangat suka berhemat, hanya saja biasanya uangku memang tidak sebanyak itu untuk bisa dihambur-hamburkan. Namun, berhubung aku sudah membulatkan tekad datang ke festival ini untuk menggantikan posisi Ayah Kenan, dan Rhea pun terlanjur menukarkan tiketku, ya sudah... aku akan menikmati hari ini dengan sebaik-baiknya.

"Mau beli minum dulu nggak?" Rhea menawarkan. "Di sana ada stan yang jual es teh jumbo."

"Lo aja," Aku menepuk tas ranselku. "Gue udah bawa minum."

Rhea menggelengkan kepala, tatapnya tertuju pada tasku. "Sekarang gue ngerti kenapa lo bawa tas segede itu. Padahal, kita cuma mau ke festival musik, bukan naik gunung."

Jatuh Cinta Itu Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang