Delapan Belas; Bekas Luka Yang Hidup Selamanya

709 136 17
                                    

Aku tahu, kamu tumbuh darikeras kasar sebuah kerutanSedang aku dari pilu,aman yang ternyata palsuJuga semua yang terlalu baik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku tahu, kamu tumbuh dari
keras kasar sebuah kerutan
Sedang aku dari pilu,
aman yang ternyata palsu
Juga semua yang terlalu baik

; Amin Paling Serius, Nadin Amizah
& Sal Priadi

***

Hidupku tidak lebih baik dibandingkan orang lain. Buktinya, aku cukup sering menemukan orang-orang yang garis takdirnya nyaris sempurna, tetapi belum pernah ada yang seburuk atau lebih buruk dibandingkan dengan garis takdirku.

Aku selalu merasa di dunia ini aku mengemban nasib yang paling apes. Selain tidak diberkati keberuntungan, semua yang ada pada diriku hanyalah ketidaksempurnaan. Entah itu keluarga, ekonomi, bakat... tidak ada satupun yang dapat kubanggakan.

Namun, saat melihat luka memar di tulang pipi Kenan malam ini, aku baru menyadari sepertinya bukan hanya aku yang tidak diberkati keberuntungan. Dan setelah mengetahui siapa pencipta luka itu, aku pun akhirnya mengerti ternyata di dunia ini ada juga manusia yang bernasib apes selain aku.

"Bokap gue kesurupan," Kenan memulai ceritanya dengan cengiran lebar, yang justru membuat wajahnya terlihat semakin suram. "Dia kerasukan genderuwo gara-gara gue pulang-pulang bawa ini."

Pandanganku jatuh pada selembar tiket lecek yang baru saja Kenan keluarkan dari dalam kantung celananya. Dilihat dari seberapa keras pukulan ayah Kenan hingga meninggalkan luka memar yang cukup parah, aku sempat menduga tiket itu adalah slot judi ilegal. Akan tetapi, dugaanku tidak terbukti lantaran di dalam tiket tersebut tidak tertulis nomor token, melainkan... festival musik.

Bukannya bermaksud membela, aku tahu Kenan memang menyebalkan. Sangat. Tetapi, menurutku laki-laki itu tidak cukup menyebalkan untuk dipukuli sampai babak belur, terlebih oleh ayah kandungnya sendiri. Apalagi alasannya hanya karena tiket festival musik yang sepertinya tidak mahal-mahal amat—untuk ayah Kenan tentu saja, kalau untukku yang bokek, harga tiket itu jelas mahal banget.

"Bokap nuduh gue nggak fokus kuliah," ujar Kenan seolah dapat membaca isi kepalaku. "Soalnya bukannya belajar, gue malah sibuk cari-cari festival musik."

"Bilang aja buat refreshing," usulku. "Capek udah fokus belajar dari hari Senin sampai Jumat."

"Kalau gue jawab gitu pasti bokap bakalan adu nasib, soalnya doi hampir nggak punya hari libur," Kenan terkekeh. "Di mata bokap, refreshing itu nggak ada bedanya sama males-malesan."

Tidak dapat dipungkiri, sebagian dalam diriku setuju dengan pendapat ayah Kenan. Aku termasuk orang yang hampir tidak pernah merasakan liburan. Dalam satu minggu, tidak ada satu hari pun kulewati tanpa bekerja. Perbedaannya, ayah Kenan memang tidak suka libur, sedangkan aku amat sangat suka. Hanya saja situasi yang tidak mengizinkanku melakukannya.

Liburan berarti tidak bekerja, tidak bekerja berarti tidak memperoleh uang, tidak memperoleh uang berarti tidak bisa makan. Jadi, daripada aku mati konyol karena kelaparan, lebih baik aku tidak pernah liburan.

Jatuh Cinta Itu Sia-SiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang