Sudahkah kau membacanya?
Pesan di balik awan
Karena bila pagi tiba
Ia terhapus hujan; Pesan Di Balik Awan, Adhitia Sofyan
•••
Aku sudah lama berteman dengan kekalahan. Karena sepanjang hidupku, aku belum pernah menjadi pemenang.
Kekalahan pertamaku terjadi saat aku masih duduk di bangku SD. Kala itu, aku sangat suka menggambar. Tidak ada satu hari pun aku lewatkan tanpa menggambar, sampai-sampai hampir setiap minggu Ayah harus mampir ke Toko Atlas untuk membelikanku buku gambar baru.
Suatu ketika, Bunda mendaftarkan aku mengikuti kompetisi menggambar yang diadakan di sebuah pasaraya. Aku datang ke tempat kompetisi dengan menggenggam kepercayaan bahwa diriku pasti mampu memenangkan perlombaan ini. Tetapi, saat mendapati MC—yang bertugas mengumumkan pemenang—tidak menyebut namaku, di situ aku langsung menyadari, ternyata suka saja tidak cukup.
Untuk menjadi pemenang, seseorang juga harus berbakat.
Kekalahan keduaku terjadi saat aku duduk di bangku SMP. Kala itu, aku termasuk dalam jajaran siswa berprestasi, hingga aku ditunjuk oleh Pak Mirat—wali kelasku—untuk mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat Ketua Osis di sekolah. Sebenarnya, aku tidak berharap banyak, tetapi setelah mengetahui sainganku adalah Sera—perempuan bersuara cempreng dan selalu langganan remedial hampir di semua mata pelajaran—aku cukup yakin akan terpilih.
Di luar dugaan, aku kalah lagi. Hasil poin pemungutan suara milik Sera jauh lebih banyak dibandingkan dengan milikku. Belakangan, aku baru ingat, meskipun bukan siswa berprestasi, Sera memiliki banyak sekali teman dari berbagai angkatan di sekolah. Dari situlah aku menyadari, ternyata berbakat pun masih belum cukup.
Untuk menjadi pemenang, seseorang juga harus rajin, konsisten, dan pandai; pandai menempatkan diri, pandai bersosialisasi, pandai mengambil hati, dan pandai mencuri perhatian.
Sedangkan kekalahan ketigaku mungkin terjadi hari ini...
"Halo Luna," sapa Mas Deva. Laki-laki berusia tiga puluh lima tahun itu adalah pemiliki Kafe Kenangan Lama, tempatku kerja sambilan.
Aku menyambut sopan jabatan tangan Mas Deva. "Halo Mas Deva," balasnya.
Cuti dua minggu sebagai waitress di kafe ini membuatku pangling dengan bosku itu. Mas Deva terlihat berbeda, entah karena potongan rambut baru atau setelan kemeja necis yang laki-laki itu kenakan—biasanya Mas Deva lebih sering mengenakan kaus.
"Maaf, saya agak terlambat. Tadi waktu perjalanan ke sini ada insiden, mobil saya diserempet motor."
Aku menatap prihatin Mas Deva. "Parah banget?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jatuh Cinta Itu Sia-Sia
Romance"Apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Sejak kecil Kaluna telah menyaksikan orang-orang yang dia cintai memilih pergi meninggalkannya. Hingga Kaluna menjadi skeptis pada cinta dan memilih menutup pintu hatinya rapat-rapat...