16

35 2 2
                                    

Happy Reading

Happy Reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mata Apta yang berwarna hazel brown terbuka perlahan, menyesuaikan diri dengan cahaya yang masuk. Ia merasakan beban di perutnya dan netranya menangkap dua pemuda yang lahir di bulan November sedang memeluk erat tubuhnya. Pelukan mereka begitu erat sehingga ia merasa sesak dan terhimpit di tengah-tengah keduanya, bahkan bergerak pun sulit. Perlahan tapi pasti, Apta melepaskan kedua tangan si kembar dari perutnya

Setelah itu, ia menghela nafas lega kala tidak ada yang terbangun. Saat sudah merasa lega, Apta pun bangun dari tidurnya. Baru saja ingin bangkit, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di pinggang. Rasanya sangat sakit, seolah-olah ia ditimpa balok besi yang berat. Pinggangnya benar-benar remuk. Apta meringis kesakitan namun memaksa tubuhnya untuk duduk

Arga terbangun ketika merasakan adanya pergerakan. Kedua netranya menangkap kekasih cantiknya yang sudah bangun. Masih dalam keadaan setengah sadar, ia ikut duduk dan melihat kondisi sang kekasih

"Sakit..." rintih Apta menahan rasa sakitnya. Arga yang paham langsung beranjak dari tempat tidur. Sebelum itu, ia mencium dahi kekasih mungilnya. "Tunggu sebentar, aku ambilkan obat." Apta hanya mengangguk, membiarkan pacarnya mengambil obat

Arga yang paham segera beranjak dari tempat tidur. Sebelum itu, ia mengecup dahi kekasih mungilnya dengan lembut. "Tunggu sebentar, aku ambilkan obat," katanya dengan suara lembut yang penuh perhatian. Apta hanya mengangguk, membiarkan pacarnya untuk mengambil obat. Beberapa menit kemudian, Arga kembali dengan nampan berisi segelas air, salep, dan obat paracetamol. Arga meletakkannya hati-hati di nakas sebelah ranjang, lalu menarik tubuh Apta dengan hati-hati agar mendekat ke arahnya

"Buka dulu kaki kamu, biar aku kasih salep supaya nggak perih," katanya dengan senyum lembut. Walaupun masih malu-malu, Apta tetap menurut. Hanya memakai kaos kebesaran milik Arga memudahkan ia untuk membuka kakinya perlahan-lahan. Wajahnya sudah bersemu merah menahan malu. Arga dengan hati-hati dan penuh kelembutan mengoleskan salep. Apta meringis menahan perih, kedua tangannya meremas seprai kasur di belakang untuk menopang badannya agar tak terjatuh. Ia mendongakkan kepala ke atas menahan sakit

"Tahan ya, sebentar lagi selesai," kata Arga menenangkan dengan suara lembutnya. Perlahan tapi pasti, ia menyelesaikan pengobatan itu. Setelah selesai, Apta duduk dengan posisi normal. Masih ada sedikit rasa ngilu, tapi berkat salep yang dibawa kekasihnya, rasa sakitnya sudah lumayan berkurang. Arga menyodorkan obat agar diminum. Apta, yang mau tidak mau harus meminum dengan cepat, menenggak obat itu agar tidak terasa pahitnya

Arga tersenyum kecil lalu mengusap lembut surai Apta. Baru saja ingin bersantai, Apta tiba-tiba teringat sesuatu. Dengan cepat, ia menengok ke arah jam dinding, memastikan agar ia tidak pulang terlalu larut. Apta menghela nafas lega saat melihat jam menunjukkan pukul 18.00. Tidak terlalu malam, tapi ia harus segera pulang sebelum kakaknya tiba

"Mas Ardan pulangnya jam 8," katanya pelan. Arga mengangguk paham. "Mau sekarang pulangnya?"

"Iya, takut dia pulang cepat," jawab Apta.

Arga mengerti tapi khawatir dengan kondisi Apta yang masih sakit. "Yaudah, aku bantu kamu siap-siap," katanya sambil mengelus pipi Apta dengan lembut. Arga dengan cekatan membantu Apta yang kesusahan berdiri, bahkan saat berjalan pun ia masih sedikit oleng. Dengan penuh perhatian, Arga membimbing Apta, memastikan setiap langkahnya aman dan nyaman



 Dengan penuh perhatian, Arga membimbing Apta, memastikan setiap langkahnya aman dan nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ardan mengetuk pintu kamar adiknya dengan lembut

“Masuk aja, Mas. Pintu gak dikunci,” terdengar suara ceria Apta dari dalam kamar. Ardan pun masuk dan melihat adiknya sedang berbaring santai sambil menonton film kesukaannya. Senyum merekah di wajahnya melihat tingkah adiknya

“Nih, Mas bawain roti bakar. Makan, ya. Kalau gak habis, taruh aja di kulkas,” kata Ardan sambil menaruh roti bakar di meja belajar. Kemudian, ia menghampiri adik kesayangannya itu

Apta melirik roti bakar yang sudah diletakkan oleh kakaknya dan tersenyum lebar. Ia meletakkan ponselnya lalu memeluk Mas Ardan dengan penuh semangat. “Makasih, Mas. Kamu memang yang terbaik"

Ardan mengusap kepala adik kecilnya dengan lembut, menyembunyikan senyum jailnya. “Iya, sama-sama, Dek.”

Saat sedang memeluk, Apta menghirup aroma tembakau yang samar tercium dari baju kakaknya. Ia melepaskan pelukan dan menatap Ardan dengan mata penuh kecurigaan. “Mas ngerokok?”

Ardan cepat-cepat menutup aroma baju dengan tangannya, lalu tersenyum lebar, berusaha terlihat santai. “Enggak, Dek. Ini bau tembakau dari temen Mas yang ngerokok. Nempel di baju Mas aja.”

Apta mendelik tajam, tidak mudah percaya. Ia menatap kakaknya dengan seksama, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan. “Mas yakin? Aku gak mau kamu ngerokok, loh.”

Ardan mengangguk dengan meyakinkan, wajahnya serius tapi tetap dengan sedikit senyum “Yakin, Dek. Mas gak ngerokok. Kan Mas janji sama kamu"

Apta masih menatapnya curiga, tapi akhirnya menghela napas. “Ya sudah, Mas. Tapi jangan bohong sama aku, ya. Aku bisa tahu kalau Mas ngerokok"

Ardan tersenyum lega, merasa berhasil menyembunyikan rahasianya. “Iya, Dek. Mas janji gak akan bohong.”

Apta mengangguk pelan, masih dengan mata waspada “Ingat ya, Mas. Aku percaya sama kamu"

Ardan mengangguk, menyembunyikan rasa cemasnya dengan senyum. Ia tahu bahwa meskipun ia bisa mengelabui adiknya kali ini, kebenaran akan selalu muncul. Tapi untuk sekarang, ia hanya ingin menikmati momen bersama adiknya tanpa masalah dan juga bukan tanpa sebab ia merokok ada sesuatu hal yang membuat nya setres sampai harus melampiaskan dengan merokok























*hmmmmmm 🧐 ada apa yaa?

GARDEN'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang