Happy Reading
Pagi itu rumah tampak sangat sibuk. Mamah sedang sibuk memasak makanan untuk piknik nanti. Namun, ia tidak sendiri; mamah dibantu oleh asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumahnya. Sementara itu, Apta dan Ardan bersantai di depan TV, menonton kartun kesukaan Apta. Meskipun sudah besar, Apta tetap suka menonton kartun, ditemani dengan makan buah-buahan kering dan setoples besar biji bunga matahari yang sudah dikupas, sehingga ia bisa langsung menikmatinya tanpa repot
Di tengah asyiknya menonton, tiba-tiba Apta merasa ada yang kurang. Ia merasa seperti ada sesuatu yang terlewat, tapi ia tidak tahu apa itu. Ia melirik ke Ardan di sampingnya yang masih fokus menatap layar besar. "Mas," panggil Apta pelan. Ardan hanya mengeluarkan deheman kecil sebagai respon, tetap fokus pada kartun
"Kenapa ya, ade ngerasa ada yang kurang? Malah kaya ada yang terlewat," kata Apta dengan nada gelisah. Ardan berhenti sejenak, lalu menoleh ke arah Apta yang masih menatap layar. Dengan jarak yang lumayan jauh dari ujung sofa ke tengah sofa, Ardan merapatkan dirinya agar bisa lebih dekat dengan adiknya. Ia juga membawa setoples makanan ringan untuk dinikmati bersama
Ardan berusaha tetap tenang. "Nggak ada yang kurang, perasaan ade aja kali," jawabnya sambil tersenyum menenangkan. Namun, Apta merasa kurang puas dengan jawaban itu, tetapi ia memilih untuk mencoba menghapus kegelisahan di hatinya. "Iya, kayaknya" gumam Apta pelan
Ardan menghela napas lega. Ia kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa, namun pikirannya melayang jauh
flashback
Suara guntur menggema di luar, menggetarkan jendela dan membuat semua yang ada di dalam ruangan terjengit. Ardan berada di rumah temannya, sedang mengerjakan tugas kelompok. Mereka semua menoleh ke arah jendela, melihat langit yang gelap gulita, dipenuhi awan hitam yang menandakan akan datangnya badai. Angin berhembus kencang, membuat suasana semakin mencekam
"Gar, coba tutup aja jendelanya," ucap salah satu perempuan berambut sebahu. Mereka semua hampir selesai mengerjakan tugas, hanya tinggal beberapa bagian kecil lagi. Namun, suasana menjadi semakin tegang dengan suara guntur dan petir yang terus-menerus menggelegar, diiringi hujan deras dan angin kencang
Ardan berusaha tetap fokus pada tugasnya meskipun ada perasaan tidak enak di dalam hatinya. Tiba-tiba, ponselnya berdering dengan keras. Ardan cepat-cepat mengangkat telepon itu. "Ardan, ke sini!" Suara di seberang telepon terdengar panik. Tanpa pikir panjang, Ardan segera mengambil jaket dan kunci motor. Teman-temannya terlihat heran dengan tindakannya yang tiba-tiba
"Sorry ya, gw pulang duluan. Ada urusan penting," ucap Ardan dengan terburu-buru. Teman-temannya hanya mengangguk, meski tampak bingung. "Hati-hati ya, cuacanya lagi nggak bagus," kata salah satu temannya. Ardan hanya mengangguk singkat dan segera keluar, meskipun hujan deras mengguyur
Ardan menaikkan kecepatan motornya di tengah hujan yang semakin deras. Ia tidak bisa tidak khawatir; baru saja ia menerima kabar bahwa adiknya, Apta, pulang dalam keadaan pingsan dan penuh luka-luka di sekujur tubuhnya. Pikiran Ardan berkecamuk dengan kekhawatiran tentang kondisi Apta dan juga keadaan di rumah yang hanya ada Bi Rosa, asisten rumah tangga mereka, sementara orang tua mereka belum pulang kerja
Ardan tidak peduli pada bajunya yang basah kuyup saat tiba di rumah. Dengan cepat, ia berjalan menuju kamar adiknya, Apta. Ketika ia melihat kondisi Apta, Ardan mengeraskan rahangnya, menahan rasa marah dan sedih. Meskipun Apta sudah diganti pakaiannya, banyak luka lebam masih terlihat di tubuhnya. Ardan sudah memanggil dokter pribadi keluarganya, tapi ia tetap merasa khawatir dan cemas
Tubuh Ardan menggigil kedinginan, namun ia mengabaikannya. Dengan lembut, ia mengusap pipi Apta dan menyatukan keningnya dengan kening adiknya. "Dek..." gumamnya dengan suara bergetar. Bi Rosa, yang baru saja kembali dari dapur membawa air hangat dan handuk, melihat betapa sedihnya Ardan. Bi Rosa merasa prihatin; baginya, anak majikannya sudah seperti anak sendiri, dan melihat Apta dalam keadaan seperti itu sangat menyakitkan
"Den Ardan, ayo keringkan rambut kamu dulu, sekalian mandi dan ganti baju, biar kamu nggak sakit nanti. Biarkan Apta sama Bibi aja," bujuk Bi Rosa dengan lembut, mengusap punggung Ardan dengan penuh kasih. Ardan ragu sejenak, ingin tetap di sisi adiknya, tapi ia tahu bahwa Bi Rosa benar
Dengan berat hati, Ardan mengambil handuk dari Bi Rosa dan berjalan menuju kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaian. Pikiran Ardan penuh dengan kekhawatiran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Apta. Di dalam kamar mandi, air hangat yang mengalir di tubuhnya tidak mampu menghilangkan dingin yang ia rasakan di dalam hatinya. Setelah mandi, Ardan cepat-cepat mengenakan pakaian kering dan kembali ke kamar Apta, berharap adiknya sudah mendapatkan perawatan yang diperlukan
Suasana di rumah Ardan semakin berat dengan berita buruk yang mereka terima. Ardan melihat ibunya menangis di sebelah ayahnya, yang berusaha keras untuk tetap tenang. "Minggu ini kita pindah rumah, sekaligus besok ayah urus perpindahan sekolah Apta," ucap ayah dengan nada tegas. Keputusan ini diambil cepat, dengan harapan bisa memberikan lingkungan yang lebih aman dan mendukung untuk Apta
Ardan mengerti maksud ayahnya, meskipun perubahan besar ini terasa mendadak. "Yah, mungkin kita juga perlu bawa Apta ke psikiater," usul Ardan, menatap ayahnya yang kini merangkul ibunya. Ardan tahu kondisi mental adiknya sama pentingnya dengan fisiknya. Sementara itu, ayah Ardan terdiam, memikirkan langkah-langkah terbaik untuk keluarganya
flashback off
"Mas... mas... mas Ardan..." Apta menggoyang-goyangkan tubuh Ardan dengan semangat.
Ardan tersentak dan kembali ke realita. "Ihh, malah ngelamun! Ayo, Mamah sama Ayah udah siap, kita mau piknik," kata Apta dengan girang, menarik-narik lengan Ardan. Semangat Apta menular, membuat suasana menjadi lebih ceria
"Iya, iya, ade. Sebentar, Mas pake sepatu dulu," jawab Ardan, tersenyum melihat antusiasme adiknya. Setelah memakai sepatu, dengan jahil Ardan mencubit hidung Apta. "Kamu nggak sabaran banget, sih!"
Apta merengek sambil mengusap hidungnya yang merah. "Mamah, Masnya nakal nih, jahilin ade terus!" keluhnya, sambil melirik ke arah ibu mereka
Mamah, yang sedang mengemasi bekal piknik, hanya tersenyum mendengar rengekan Apta. Sementara itu, Ardan tertawa puas melihat reaksi adiknya. Dengan penuh semangat, Apta segera berlari menuju mobil, di mana Ayah sudah menunggu mereka
*udah lama ga updatee sibukk bangettt plisss🙂
KAMU SEDANG MEMBACA
GARDEN'S
Romance( semi Hiatus) entah kenapa takdir yang mempermainkan ketiga remaja yang hanya ingin kehidupan normal seperti remaja pada umum nya Warning!! ⚠️#b×b #kalau g suka bisa langsung skip #fanfiction #FIKSI #18+ (dosa di tanggung sen...