18

564 10 0
                                    

Ardhan tahu betul kalau semalam Rin bukan sengaja ingin menginap di rumah Kesia. Rin pasti takut pulang, karena dia telah gagal. Putri kebanggaannya tersebut bukan perempuan yang cemerlang lagi. Dia hanyalah perempuan yang pernah memiliki prestasi dan sekarang hanya menjadi perempuan vulgar.

Bagaimanapun Ardhan meras kecewa dan marah. Seharusnya Rin lebih peduli lagi pada pendidikannya. Perempuan itu sudah dibenci hampir seluruh keluarga isterinya sejak berusia 7 tahun. Rin yang pintar juga terjebak dalam perebutan warisan saudara-saudaranya. Rin seharunya terlihat lebih pintar dan berguna agar seluruh dunia tahu jika putrinya bukan aib, pembawa sial atau tidak pantas. Namun Ardhan menyadari bahwa cita-citanya atas Rin terlalu tinggi dan di luar kendali.

Sekarang Rin duduk di depannya. Mereka makan malam bersama, tapi Ardhan tidak akan berbicara. Takut jika satu atau dua pembicaraan malah menyulut emosinya.

"Dia bahkan tidak terpilih untuk mengikuti olimpiade. Itukah puteri yang kau banggakan?" Ayna berbica penuh ejekan.

"Dia bodoh dan memotret foto-foto vulgar. Bukankah dia lebih buruk daripada Jehan?"

Jehan yang dibicarakan duduk di sebelah Rin dan berpura-pura tidak peduli.

"Sayang sekali, karena kau menginvestasikan banyak hal untuknya. Sekarang semuanya sia-sia. Dia tidak berguna. Jadi untuk apa dia tetap ada di sini? Dia tidak akan bisa membantumu mendapatkan warisan sama sekali."

Rin berhenti menggunakan sendok dan garpunya.

Ayna tertawa pendek. "Kasihan sekali. Dia berpikir kau peduli padanya, padahal tidak seorangpun peduli dengan anak liar sepertinya. Kau membiarkannya tetap tinggal dan memberikan fasilitas baik, karena kau tahu dia bisa digunakan untuk mendapatkan warisan. Itu bukan keluarga. Benar begitu, Rin?"

Rin menatap Ayahnya. Diam dan seolah memvalidasi ucapan Ibunya. Kenyataannya memang benar. Rin hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan warisan dari Kakeknya.

"Ma." Jehan memperingati. Bagaimanapun Jehan sudah lelah ketika makan malam berakhir menjadi dingin.

"Sayang, kau tahu kalau apa yang Mama katakan adalah benar. Dia hidup di sini untuk sesuatu. Sekarang dia tidak bisa melakukannya, jadi sudah seharusnya dia pergi. Betapa beraninya dia berpikir bahwa dia masih pantas di sini."

Rin meletakkan sendok dan garpu. Diminumnya air minumnya, kemudian pergi sambil memakai kruk. Kakinya masih belum pulih, jadi dia terus terlihat pincang.

***

Sudah tiga puluh menit Rin duduk di halte, tapi Raskar belum kembali. Raskar bolos jam terakhir, tapi berjanji akan kembali sepulang sekolah untuk menjemputnya. Sekarang Rin mulai meragukan janji Raskar.

"Es krim vanila, kesukaan lo." Dirga duduk di sebelahnya, memberikan sebuah es krim.

"Makasih." Rin merobek bungkus es krim dan mulai menjilatinya. Dirga di sebelahnya menyalakan sebatang rokok, lalu menghisapnya.

"Ngapain kamu ke sini?"

"Nemenin pacar gue."

"Pacar apanya."

"Kita enggak pernah putus, Rin."

"Enggak kata kamu? Lalu kemana kamu setelah foto-foto itu menyebar? Kamu ninggalin aku! Kamu terang-terangan ngebiarin aku pacaran sama Raskar. Lagipula kamu hanya bermain-main sama aku."

Dirga meletakkan rokoknya, lalu menggengam tangan Rin. "Maaf, karena gue membuat lo bingung."

"Enggak perlu. Kamu dan aku sudah selesai."

Raskar & Rin | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang