Jay bingung. Beberapa hari ini ia menjalani rutinitasnya sebagai seorang pengawal, namun apa yang dialaminya semalam terasa terlalu nyata untuk sekadar mimpi.
Beberapa hari yang lalu, Ia dimarahi habis-habisan oleh Riki karena lalai mengawal Heeseung. Seorang pengawal seharusnya tidak mabuk hingga tak sadarkan diri, apalagi sampai dibawa pulang oleh majikannya sendiri.
Namun yang lebih membebani pikirannya adalah, Jungwon masih ada di rumah, bersikap seperti biasa seolah menjustifikasi bahwa yang waktu itu Jay alami hanya mimpi buruk belaka.
Setiap kali Jay melihat Jungwon, rasa frustrasinya semakin dalam. Bagaimana mungkin orang yang jelas-jelas ditembak mati bisa berdiri di depannya tanpa luka sedikitpun? Segalanya semakin absurd dan membingungkan.
"Jay."
Jay terkesiap, Ia menoleh pada Riki yang menatapnya galak. Fokus. Jay seolah bisa membaca gerak bibir Riki.
"Sepertinya kau tidak bisa fokus akhir-akhir ini, Jay," kata Heeseung. Ia melepas kacamatanya. "Datang ke ruanganku setelah ini."
* * *
Suasana tegang. Kedua tangan Jay tersimpan di belakang, Ia memilin ujung lengan dengan gugup. Heeseung berdiri membelakangi Jay, menatap keluar jendela. Tidak ada yang bicara selama beberapa saat, hanya suara detak jam dinding yang terdengar, menambah ketegangan di dalam ruangan.
"Katakan."
"Huh?"
"Aku tahu ada yang ingin kau katakan." Heeseung bicara sambil berbalik menghadap Jay.
"A-aku..," Jay berkata ragu, "aku merasa ada sesuatu yang salah."
"Seperti?" Heeseung menarik kursi, duduk di kursi kebesarannya.
"Aku dengar kau yang membawaku pulang dari bar."
Heeseung mengangkat kedua alisnya. "Hanya itu?"
Jay mengulum bibir. "Aku melihatmu menembak mati Jungwon di Moon Bar, tempatku dulu bekerja."
Heeseung diam, Ia tidak mengelak.
"Jadi kau juga merasakannya," kata Heeseung. Nada yang digunakan kini berbeda; terkesan lega, namun juga kalut.
Ia berdiri, meraih tangan Jay dan mengajaknya duduk di sofa panjang/
"Apa yang terjadi saat itu?" Jay bertanya.
"Aku tidak tahu," jawab Heeseung jujur. "Yang kutahu, aku terbangun di sofa yang terletak di sudut bar. Kau di sampingku, tak sadarkan diri. Suasana bar ramai, seperti tidak ada tanda-tanda kekerasan. Sunoo juga di sana, melayani pelanggan seperti bartender biasa."
"Dan kau membawaku pulang."
Heeseung mengangguk. "Ngomong-ngomong bagaimana bahumu?"
"Bahuku..," Jat menggumam, menyentuh bahu kanannya. "Baik, hanya luka goresan, tidak terlalu parah."
Heeseung mengangguk.
Hening, suasana kembali tegang. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
"Aku membuang alat komunikasimu dengan Jake."
"Aku tahu."
"Kau tidak marah?"
Jay menggeleng. "Untuk apa?" katanya, "aku tidak bisa lagi mempercayainya."
"Aku menyuruh Riki mengawasi Jungwon," kata Heeseung. Jay hendak bersuara, namun Heeseung menyela, "aku tidak percaya siapapun, Jay. Kecuali kau dan Riki. Entah kenapa aku merasa bisa mempercayai kalian."
Jay diam. Ia menunduk.
"Kita harus apa..."
Heeseung berdiri. Dengan tegas Ia berkata, "Kita harus menemukan Selene."
.
.
.
tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Pursuit (HeeJay)
Fanfiction"You're not going to let me go, aren't you?" Heeseung tertawa. "No." A Heejay Mafia Story - may contain inappropriate content - written in bahasa, tapi mungkin ada beberapa percakapan yang pake inggris - ya gitu lah maaf aku penulis pemula, hope u e...