9. Bahaya

79 21 8
                                    

"Bagaimana Arm?"

Biu mengamati lembaran-lembaran dokumen yang ditata rapi oleh Arm di atas meja.

"Dia orangnya. Korn lah orangnya."

Biu terdiam sejenak, kedua tangan kecilnya mengepal.

"Bii, kau baik-baik saja?" tanya Arm. Biu tidak menjawab, dia memilih melampiaskan emosinya dengan memukuli tembok beberapa kali sampai denyutan nyeri mulai terasa di kedua kepalan tangan kecilnya. Napasnya memburu. Agak terkejut ketika melihat rumah Bible dikelilingi oleh polisi. Sampai akhirnya Biu tidak sengaja melihat Korn dan Gun yang berjalan ke luar dari rumah itu, penampilan dua orang dewasa itu sedikit menyenggol kotak memorinya. Benar saja, ketika meminta Arm untuk menyelidiki tentang asal usul Korn, memang dia lah orangnya.

"Jauhi Bible."

Biu menoleh, matanya menatap Arm tajam.

"Apa? Aku salah? Sebelum hubungan kalian semakin jauh, tinggalkan dia."

"Aku tidak ada hubungan apapun dengannya, Arm," ucap Biu pelan.

"Oh ya? Kamu membawanya ke markas hutan, satu-satunya tempat yang hanya kita berdua yang tau, bahkan Kai tidak tau tempat itu. Tapi kau membawanya. Kamu memberitahukan nama kita, dan sudah berapa kali kamu membahayakan nyawamu sendiri hanya untuk menolongnya? Oh, dan kamu membawanya ke hunian pribadimu, Jakapan!"

BRAK

Suara gebrakan meja dari Biu langsung membuat Arm menghentikan argumennya. Mata mereka berdua masih saling menatap tajam.

"Cukup Kai saja yang menyakitimu, Bii. Aku tidak mau ada yang menyakiti sahabatku lagi."

Arm menyambar jaketnya lalu pergi meninggalkan ruangan itu. Biu? Dia sudah mengamuk sekarang. Melempar semua yang ada di atas meja hingga jatuh berantakan di lantai. Biu berhenti mengamuk ketika tangannya menyenggol pecahan gelas yang tidak sengaja ia pecahkan saat menggebrak meja barusan. Netranya masih menatap telapak tangan yang masih mengeluarkan darah segar itu.

"Sebenarnya apa yang kupikirkan? Kenapa anak itu begitu mempengaruhiku?"
.
.
.

Biu hanya diam menatap Bible dari kejauhan. Dia tidak bisa mendekati anak itu meskipun mereka ada di area publik. Biu bisa melihat dua orang yang menjaga Bible meskipun mereka menjaga dari jarak jauh. Wajah anak itu terlihat murung. Kedua tangan kecil Biu mengepal erat, dia ingin mendekat tapi tidak mau membuat keributan. Pada akhirnya, Biu hanya bisa mengamati Bible dari kejauhan. Dia pun tidak tau kenapa harus melakukan hal itu, tapi yang jelas Biu hanya ingin mengamati anak itu dan memastikan kalau dia baik-baik saja.

Menjelang sore hari, saat Bible sedang menjalani perkuliahan, Biu memilih menghabiskan waktunya di taman belakang jurusan sambil menyesap rokoknya. Ini benar-benar membosankan tapi dia pun tidak ingin beranjak dari sana.

"Apakah Biu tidak bosan mengamatiku dari jauh seharian?"

Biu terkejut bukan main mendengar suara Bible, bahkan dia tidak menyadari kedatangan anak itu.

"Bagaimana kau bisa ada di sini?" tanya Biu datar.

"Aku kabur dari kelas, lompat jendela hehehe."

Biu lanjut menghisap rokoknya saat Bible menyusul duduk di sebelahnya.

"Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Biu. Bible menggeleng.

"Ayah melarangku untuk bertemu dengan Biu, tapi ayah tidak menjelaskan alasannya padaku, Bii. Ayah hanya bilang kalau ini demi keselamatanku."

Biu tersenyum bias. Dia tidak menyangka kalau semuanya serumit ini. Luka masa lalunya pun tidak bisa sembuh begitu saja, tapi tidak pernah terlintas sedikitpun di otaknya untuk menyakiti Bible.

The Bloody DaisyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang