💢 Fight

371 44 1
                                    

Setelah kedua pemuda itu tiba di depan kelas mereka, Jaemin yang saat itu masih merasakan api di dalam hatinya, langsung menghempaskan tangan temannya yang masih memeganginya.

"Kenapa?" tanya Jaemin singkat.

Namun untuk Sanha yang mengerti bagaimana temannya itu, ia langsung tahu apa yang dimaksud. "Jangan nyari ribut sama mereka, Jaem."

"Emangnya lo tau apa?"

Sanha yang mendengarnya langsung dibuat terpaku, baru kali ini aura mengerikan itu keluar dengan nada bicara yang tentu dipenuhi amarah. Meski biasanya juga pemuda Lee itu berbicara dengan singkat dan terkesan acuh, namun itu berbeda dengan sekarang.

"Jaem, gua emang bukan lo yang bisa rasain apa yang lo rasain, tapi gua cuma gak mau lo kenapa-napa."

Jaemin saat itu hanya diam, benar-benar diam. Namun yang jelas adalah kerutan di dahinya, pemuda itu menunjukkan ekspresi lain selain wajah datarnya.

Mungkin untuk orang-orang biasa yang tidak mengenal jauh Jaemin, kerutan itu adalah hal biasa karena sedang merasa emosi. Namun bagi keluarga Lee, itu adalah mara bahaya.

Sanha yang melihat keterdiaman itu pun langsung diselimuti rasa bersalah dan sesuatu tidak nyaman ia rasakan di hatinya.

"Maaf, Jaem. Gua gak ngertiin lu, ya? Maafin gua, ya. Sekarang mending masuk aja dulu." lanjut Sanha, berusaha membujuk temannya daripada berdiri di sana dengan perasaan yang tidak mengenakkan itu.

Anehnya, Jaemin masih menurutinya. Ia akan beranjak masuk ke dalam kelas, namun belum sempat melangkahkan kakinya, suara yang sama dari seseorang yang sebelumnya mencari masalah dengannya itu terdengar.

Benar, itu adalah Daniel dan teman-temannya yang ternyata langsung ikut pergi dari taman setelah kedua pemuda itu juga pergi.

"Loh, kalian belum masuk? Padahal udah dari tadi deh perasaan." ujar Daniel begitu sampai di dekat kedua pemuda itu.

Teman-teman Daniel yang lagi-lagi menyahut dengan mengatakan hal-hal menyebalkan lagi.

"Namanya juga batu, pasti lelet jalannya."

"Bukannya batu emang gak bisa jalan?"

Daniel yang merasa situasi semakin menyenangkan akhirnya ikut berbicara. "Itu bukan batu, tapi skill keturunan dari nenek, kan nenek-nenek jalannya lelet. Jadi pengen ngajak nenek lomba maraton, deh."

"Eh, Nenek gua maksudnya."

Sudah cukup.

Dari awal ini memang sudah keterlaluan, dan Jaemin tidak bisa lagi menahannya. Hatinya seolah sudah terbakar amarah yang tak akan bisa padam oleh apapun.

Dan saat itu juga, tanpa disadari oleh siapapun, Jaemin sudah bergerak mendekati kakak kelasnya dengan membawakan tinju yang langsung mendarat di rahang yang lebih tua.

Kejadian itu begitu cepat, sehingga membuat orang-orang di sana tidak terpaku melihatnya, bahkan Sanha tidak sempat menahan Jaemin untuk yang kedua kalinya.

Dari jauh pun sekelompok pemuda lain tiba dari arah yang berlawanan, itu adalah teman-teman Haechan, Jeno dan yang lainnya.

"Loh hee?!"

"Itu Haechan kenapa, anjir??"

"Itu Jaemin, dongo!"

"Mana mungkin Jaemin, yang bisa kayak gitu pasti Haechan."

"Tapi di sana ada Sanha!"

"Lah, iya."

"Kebetulan ada Sanha kali."

"Mau Jaemin atau Haechan, kita harus pisahin dulu mereka."

"Bener."

Pada saat yang sama, Daniel yang terkejut karena serangan yang terlalu tiba-tiba itu perlahan menoleh dengan tatapan tajamnya. Dan betapa terkejut dirinya kala melihat orang di depannya, yang sangat amat begitu mirip dengan seseorang yang dahulu pernah berkelahi hebat dengannya.

Namun daripada memikirkan hal tidak penting seperti itu, tanpa mengatakan apapun, Daniel langsung membalasnya dengan pukulan yang lebih keras.

Jaemin yang menerimanya pun langsung terhuyung, ia akui mereka memiliki perbedaan kekuatan yang cukup jauh sehingga dampak yang diterima pun tentunya berbeda.

Sanha yang melihatnya pun mulai khawatir, tangannya terulur untuk meraih tangan Jaemin, namun langsung dihempaskan untuk yang kedua kalinya.

"Jaem, udah."

Jaemin menatap tajam kepada Sanha. "Diem kalau lo emang di pihak gua." ujarnya yang berhasil membuat temannya lagi-lagi diam tak berkutik.

Kalau boleh jujur, Sanha takut dengan karakter Jaemin yang sekarang.

"Pecundang kayak lo berani mukul gua?"

Jaemin kembali menoleh kepada Daniel yang baru saja mengatakan demikian. "Lebih lucu lagi liat orang sok jago tapi milih lawan pecundang." balas Jaemin seolah tak lagi takut akan apapun.

"Sialan lo!"

Perkelahian itu pun berlanjut, keduanya saling memukul ke berbagai bagian tubuh. Meski perbedaan kekuatan yang sangat jauh, perkelahian itu terus berlanjut.

Entah bagaimana cara mereka berhenti, karena dengan melihatnya saja mampu membuat orang-orang berpikir kemenangan akan tercapai jika salah satunya mati.

Sekelompok pemuda lain sudah tiba di sana. Tanpa banyak kata, Jeno segera mendekati Jaemin dan menarik pemuda itu. Namun tanpa diduga, yang didapatkan nya malah tinjuan.

"Gua bilang diem." ujar Jaemin penuh penekanan, pandangannya benar-benar dibutakan oleh amarah.

Dan lagi, perkelahian berlanjut. Semakin banyak murid-murid yang tiba di sana untuk menyaksikannya, bukan untuk melerai.

Namun pada saat itu juga, ada satu orang yang berada di kelompok Daniel, tiba-tiba beranjak pergi dari sana tanpa disadari oleh teman-temannya sendiri yang lebih tertarik untuk menonton dan menyoraki.

Beruntungnya beberapa saat kemudian, seorang guru pria berjalan tergesa menuju tempat kejadian dengan membawa tongkat kayu yang biasa ia bawa untuk memukul murid-muridnya yang nakal.

"Sudah cukup kalian!"

Teriakan sang guru mengejutkan para murid, sedikitnya mereka kecewa karena ini sepertinya akan berakhir. Namun kedua pemuda yang masih berkelahi memilih untuk mengacuhkannya.

Hal itu pun membuat guru tersebut marah dan kembali berteriak dengan lebih keras.

"BAPAK BILANG CUKUP!!"

Akhirnya, keduanya berhenti, namun mereka masih menatap satu sama lain dengan penuh amarah. Ajaibnya, meski Jaemin mendapatkan banyak bekas luka dan tentunya karena tidak memiliki pengalaman berkelahi sebagaimana kembarannya, namun yang lebih meringis kesakitan adalah Daniel.

.

.

"Gitu kejadiannya, lo tau sendiri sisanya."

Sanha mengakhiri ceritanya, namun begitu selesai, ia masih merasa bersalah karena ketidakmampuannya untuk menahan Jaemin ataupun melerainya.

Sementara itu, Haechan yang mendengarnya pun juga ikut emosi, ia tahu bagaimana perasaan Jaemin saat mendengar orang lain mengatakan hal yang buruk terhadap anggota keluarganya.

Ah, benar.

Haechan baru saja mengakui bahwa kembarannya memiliki perasaan seperti dirinya.

Kembarannya-- Jaemin bukanlah Zombie seperti apa yang dikatakannya.

I.P.U || HyuckNaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang