"Minhyun kampret! Mana lo?!"
Daniel langsung berteriak memanggil saudara tirinya begitu ia masuk ke dalam bangunan megah itu. Tidak ia sadari ada seseorang di sana, sampai orang itu mengatakan sesuatu kepadanya.
"Sebelum kamu cari orang lain, kamu harus selesaikan urusan dengan saya."
Suara yang sangat familiar itu berhasil membuat pemuda tersebut mematung dan tanpa sadar meneguk ludahnya sendiri. Dengan kaku Daniel mencoba menoleh untuk memastikan.
Sayangnya mimpi buruk itu nyata. Ayahnya sedang duduk di sofa dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatapnya tajam.
"Sialan! Si Minhyun sengaja?!" batin Daniel.
"Gu-gua ada urusan."
Daniel berniat untuk pergi saja dari sana. Masa bodoh dengan ponselnya, sekarang yang terpenting ia harus menjauh dari iblis itu.
Namun belum juga ia menuntaskan langkahnya yang kedua, ucapan yang disertai nada mencekam itu lebih dulu menyela nya, seolah pemburu yang enggan melepaskan mangsanya.
"Apa harus saya tekankan untuk selesaikan urusan kamu di sini, Kang Daniel?!"
Pria yang sudah menginjak usia tuanya itu tiba-tiba bangkit dari duduknya, berjalan perlahan dengan dipenuhi aura membunuh menuju putranya sendiri.
Daniel sudah muak.
Ia benci jika harus seperti ini. Hidupnya benar-benar tidak bisa damai meski sebentar. Bahkan ia tidak bisa bebas menjalani hidupnya sendiri.
Jika begini kenapa ia terlahir sebagai manusia?
Setidaknya itu yang selalu ia pikirkan.
Maka dari itu, Daniel memutuskan untuk mengeluarkan semuanya sekarang juga. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi kepadanya, bahkan jika ia harus mati, ia harus berpulang dengan tenang setelah meluapkan semua yang selama ini dipendamnya.
"Sebenernya mau lo itu apa sih?? Kenapa gua selalu salah di mata lo? Kesalahan apa yang bikin lo sebenci itu sama gua?"
Daniel menarik nafasnya dalam-dalam. "Yah... Gua capek. Gua capek diperlakuin kayak gini. Orang tua mana yang tega siksa anaknya sendiri?"
"Oke, kalau mau ngomongin kenakalan gua. Tapi gua kasih tau, ini semua gara-gara lo sendiri! Gua kayak gini karena capek sama lo!"
"Gua gak pernah minta buat lahir di keluarga ini. Gua gak mau. Kalau bisa balikin aja gua ke atas sana." sambung pemuda itu menggebu-gebu, matanya bahkan mulai memerah menahan rasa sakit dan amarahnya.
Namun pria yang jauh lebih tua darinya itu sama sekali tidak terenyuh, seolah kata demi kata yang dilontarkan oleh putranya hanyalah angin lewat.
"Siapa bilang kamu lahir di keluarga saya?"
Dan pertanyaan itu berhasil membuat Daniel mengerutkan keningnya bingung. "Maksud lo?"
Pria itu maju beberapa langkah mendekati putranya. "Siapa bilang kamu anak kandung saya?" tanyanya sembari mendorong kening pemuda itu dengan telunjuknya.
"Selama ini kamu tidak tau bahwa kamu hanyalah anak angkat keluarga Kang?"
Daniel merasakan dadanya seperti tertusuk mendengar apa yang ayahnya katakan. "Ga-gak. Gak mungkin."
Pria tua itu tiba-tiba menegakkan tubuhnya, menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya ketika ia mengatakan, "Baiklah. Dengan ini kamu sendiri yang meminta untuk mati, jadi saya akan katakan yang sebenarnya sebelum kamu pergi."
"Kamu itu anak yang saya angkat ketika saya mencalonkan diri sebagai Gubernur. Tanpa perlu saya katakan, kamu pasti tau alasan saya melakukan adopsi, bukan?"
"Saat itu, saya bertemu kamu di panti asuhan Harmonia. Saya tertarik karena kamu merupakan anak blasteran, cukup menarik untuk jadi anak angkat saya."
"Jadi saat itu, saya pilih kamu sebagai anak angkat saya, sekaligus untuk citra saya sebagai calon gubernur."
Awalnya pria itu menceritakan fakta tak terduga itu sembari berjalan perlahan menuju bingkai foto berukuran besar yang terpajang di dinding, menunjukkan kebersamaannya kala itu bersama anak-anak dan perawat dari panti asuhan di mana ia membawa Daniel.
Namun tiba-tiba orang itu berbalik, menatap tajam kepada seorang pemuda yang kini sedang menundukkan kepalanya, mencoba memproses apa yang baru saja masuk ke kepalanya.
"Tapi ternyata, anak itu bodoh dan tidak berguna!" lanjut pria itu dengan nada yang seketika meninggi dan penuh amarah.
Ia kembali melangkah kepada putra angkatnya itu, kemudian mencengkram dagu si pemuda yang kini hanya pasrah dibuatnya.
"Jauh dari bayangan saya. Jauh dari ekspektasi saya bahwa anak itu bisa sepintar saya. Entah seberapa besar uang yang saya keluarkan untuk mendidik anak bodoh itu, namun hasilnya sama sekali tidak berubah."
"Bahkan ketika dewasa anak itu malah semakin parah dan--"
"Itu karena lo perlakuin gua dengan buruk, sialan!!" Untuk yang kesekian kalinya, Daniel sudah muak dan kembali meledak. Ia berteriak menyela ucapan seorang ayah yang ternyata tidak sedarah dengannya.
"Jadi menurut kamu itu salah saya, hm?"
'Bugh!'
Pria itu melepaskan cengkraman nya dan berganti melayangkan tinjunya dengan begitu keras mendarat tepat di rahang putra angkatnya. Bahkan Daniel saja tidak berhasil menahannya dan langsung tersungkur ke lantai.
"Berani kamu lancang kepada saya! Dasar anak tidak tau diri!"
Melihat anaknya yang terkapar di bawahnya membuat pria tua itu memutuskan untuk menghukumnya dengan menggunakan kakinya. Menendang dan menginjak tubuh yang lebih muda dengan membabi buta.
Melihatnya saja bisa membuat orang berpikir bahwa pria itu mungkin saja kerasukan.
Namun tidak puas dengan itu, kini pria tersebut berjalan menuju sofa dan mengambil salah satu tongkat golf yang baru saja ia gunakan beberapa jam yang lalu.
Ia kemudian kembali, dan sembari terus meracau memaki putra angkatnya itu, tangannya terus bergerak melayangkan benda panjang tersebut kepada tubuh lemah itu.
Bagaimana dengan Daniel?
Daniel sendiri tentunya merasa marah, kesal, bahkan sangat ingin membalas. Namun fakta yang ia terima berhasil membuatnya gagal untuk bangkit dan hanya melindungi diri sebisanya.
Rasa sakitnya jauh lebih mengerikan di banding hari-hari yang sebelumnya.
Lagipula sebelumnya Daniel sudah memutuskan untuk mati dengan mengeluarkan semua amarahnya, jadi untuk apa lagi ia mencoba bertahan untuk hidup?
Ia sedikit-- Sangat sedikit merasa berterima kasih kepada orang yang saat ini sedang menyerangnya karena sudah menyampaikan fakta itu sebelum ia pergi.
Sementara itu, di atas sana ada seorang pemuda yang hanya menatap kejadian mengerikan itu.
Itu adalah Minhyun, yang memang sejak Daniel tiba ia berada di lantai atas untuk menyaksikan aksi ayahnya.
Bukannya iba, bahkan Minhyun tak sedikitpun merasa ingin menahan tindakan pria itu. Memilih untuk membiarkan semuanya berlalu dengan dirinya sebagai penonton.
Hingga tindakan tak terpuji itu tuntas setelah beberapa menit, akhirnya kepala keluarga Kang itu beranjak pergi dari sana, meninggalkan seorang pemuda yang nyawa nya sudah berada di ujung tanduk.
Dengan begitu, Minhyun juga beranjak dari tempatnya, menuju ke lantai bawah.
Tepat saat tubuh tingginya berada di samping sang adik yang terkulai lemas, tangannya bergerak untuk menyimpan sebuah benda di samping kepala pemuda itu.
Dan akhirnya ikut pergi meninggalkan Daniel yang sudah tak sadarkan diri, dengan pandangan terakhir yang ia lihat adalah pemuda yang bukanlah kakak tirinya, melainkan hanya saudara angkat.
Ponsel di samping Daniel pun akan mati beberapa detik lagi, dengan tampilan di layarnya yang ternyata sebuah ruang chat antara Daniel dan salah satu temannya.
Jihoon A.S.U
Anter gua ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
I.P.U || HyuckNa
Teen Fiction[Brothership] Saudara kembar itu adalah sebuah cermin. Jika saling berhadapan, mereka akan terlihat seperti sedang melihat pantulan mereka sendiri. Memang benar begitu. Tapi disini, siapapun akan dapat membedakannya dengan mudah. Siapa matahari, dan...