Langit begitu cerah, biru dan berawan. Angin sepoi-sepoi pun melengkapi keindahan saat itu. Begitu memukau dan menyejukkan untuk terus dipandang dan dirasakan.
Tapi, itu tidak adil.
Kenapa alam tidak menemani suasana hatinya yang sedang bersedih?
Salah satu anggota keluarganya belum ada kabar pasca kecelakaan, ia mengatakan hal buruk kepada kembarannya, dan sekarang kembarannya terlibat perkelahian.
Kenapa susunan kejadian tersebut muncul di saat yang sangat tidak tepat?
Haechan hanya bisa menghela nafasnya ketika ia masih berada di rooftop setelah beberapa saat yang lalu berbincang bersama teman sekelasnya.
Pemuda itu kebingungan dengan langkah apa yang harus ia ambil sekarang. Karena untuk menghadap kepada kembarannya saja, ia tidak punya cukup keberanian.
Beberapa saat kemudian, suara pintu terdengar, menandakan ada seseorang yang datang. Apa Sanha kembali lagi?
Namun begitu orang di belakangnya itu memanggil namanya, Haechan tahu jelas siapa gerangan di sana.
"Haechan."
Yang di panggil pun berbalik, mendapati kakaknya-- Mark yang kini sedang berjalan menghampirinya. Saat itu pun Haechan mengajukan pertanyaan,
"Ngapain di sini?" tanya nya sedikit dingin, masih agak kesal kepada kakaknya karena apa yang terjadi saat masih di rumah.
"Ngewakilin bonyok. Apa lagi emangnya?"
"Emang bisa di wakilin sama anak kelas 3 SMA? Mana dari sekolah lain lagi."
"Gua udah minta perhitungan ke guru lo, katanya boleh setelah gua ceritain soal keluarga kita."
Hening beberapa saat, keduanya nampak sama-sama menikmati kesejukan angin yang menerpa kulit mereka untuk menenangkan sedikit perasaan yang tak karuan, sebelum akhirnya Haechan kembali mengajukan pertanyaan.
"Mama... Gimana?"
"Gua udah minta tolong sama Tante Fany buat jagain Mama."
Haechan menganggukkan kepalanya untuk meresponnya. Tidak bisa terbayangkan bagaimana perasaan Ibunya saat ini, karena dua sumber kebahagiaannya dalam masalah.
"Gua tau." Mark yang tiba-tiba mengatakan demikian langsung membuat sang adik bertanya.
"Apaan?"
"Lo ada masalah sama Jaemin."
Haechan langsung menoleh kepada sang kakak, mengagumi kepekaannya terhadap situasi sekitar. "Kok bisa tau?"
"Karena lo gak heboh." Mark yang kini menoleh kepada sang adik, sehingga membuat mereka saling bertemu tatap. "Kalau gak ada apa-apa, lo pasti ada di samping Jaemin sekarang."
Mark pun melanjutkan, "Haechan yang gua tau itu overprotektif, gak mungkin ngebiarin ini terjadi gitu aja. Lo pasti bakal heboh buat nyari lawannya dan bales dendam. Apalagi dia itu... Kang Daniel."
"Gua udah ngelakuin kesalahan fatal, bang." Haechan mengalihkan pandangannya, menatap ke lain arah selain menatap mata yang menyorot kekhawatiran dari kakaknya. "Gua gak berani buat nunjukin muka gua di depan dia." lanjutnya mulai memelan.
"Bodo lu ternyata."
Haechan terkejut kala Mark tiba-tiba menyebutnya begitu. "Maksud lu?"
"Jaemin nunggu lo di bawah bego."
Saat itu juga, secercah harapan seolah muncul bak keajaiban, mata yang sebelumnya sayu itu kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
.
.
"Orang tua kamu tidak bisa datang, Kang Daniel."
Pemuda tinggi itu tau tentu saja, tidak perlu dicoba pun ia tahu hasilnya. Ia bahkan sudah mengatakan kepada guru nya itu jikalau memanggil orang tuanya ke sekolah adalah hal mustahil.
"Udah tau, elah. 'Kan udah di kasih tau dari tadi juga."
Yah, Daniel sendiri tidak memperdulikannya. Mau mereka datang atau tidak, masa bodoh. Toh keduanya juga demikian terhadapnya. Memangnya apa yang kedua orang tuanya pedulikan selain pekerjaan?
Daniel sampai penasaran bagaimana orang tuanya bertemu hingga memutuskan untuk menikah, jika ujung-ujungnya mereka akan bergelut di dunia mereka sendiri.
Ah, bahkan sampai punya anak.
Bukankah jika begitu lebih baik mereka membunuhnya sejak dirinya masih di dalam kandungan?
"Permisi."
Guru di depannya nampak menoleh ke arah pintu di belakang Daniel. Penasaran siapa orang itu, tetapi Daniel terlalu malas untuk melihatnya.
"Ya?"
"Maaf, saya perwakilan dari keluarga Kang."
Akhirnya Daniel ingat suara itu, terutama karena orang itu mengatakan tujuan kedatangannya.
Sang guru pun lekas bangkit dan mempersilahkan orang itu duduk di kursi tepat di sebelah muridnya. "Oh, silahkan duduk."
Setelah pria itu duduk, ia menoleh kepada Daniel sembari membetulkan kacamatanya. Yang ditatap pun hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Tak ingin berlama-lama, guru yang bertanggungjawab terhadap keamanan murid-muridnya itu mulai menjelaskan apa yang terjadi dan hukuman untuk itu kepada orang yang mengaku sebagai perwakilan keluarga Kang.
Dan setelah beberapa saat, perbincangan mereka pun berakhir, ditutup oleh pria berkacamata itu yang terus membungkukkan tubuhnya sebagai permintaan maaf atas perilaku tidak baik dari Daniel.
Kemudian keduanya pun pergi dari ruangan tersebut, meninggalkan seorang guru yang hanya duduk diam menatap kepergian tersebut.
Setelah mereka berada di luar, Daniel langsung pergi berlawanan arah dari jalan pulang karena ia masih mempunyai urusan yang sangat penting.
Tetapi sebelum ia melangkah lebih jauh, dirinya di panggil oleh si 'perwakilan'. "Kang Daniel."
"Apaan?" tanya nya tanpa berbalik.
"Ikut gua balik, gak usah macem-macem lagi."
"Ngatur amat lu."
"Gua itu abang lu, nurut kek."
Ya, itu adalah saudaranya, kakak sekaligus putra sulung dari keluarga Kang.
"Abang tiri maksud lo?"
Nah, lebih tepatnya adalah saudara tiri dari pemuda bernama Kang Daniel. Namanya adalah Kang Minhyun.
Daniel bahkan selalu dibuat heran oleh ayahnya. Kenapa pria tua itu menikah hingga dua kali jika akan acuh seperti ini?
Apakah karena nafsu? Atau karena kekurangan salah satu istri sehingga ingin mencari nya pada wanita lain?
Memuakkan.
Daniel muak jika harus mendengar alasan seperti itu. Apakah tidak ada alasan bagus selain menunjukkan sisi sampah nya itu? Alasan palsu pun tidak apa-apa.
"Intinya lu ikut gua balik, Ayah mau ngomong."
Daniel berbalik setelah mendengarnya, ia bahkan tersenyum kecut dibuatnya. "Ngomong apaan?? Mending kasih tau dulu tuh sama bokap lu, ngomong itu pake mulut bukan pake tangan atau kaki!"
"Bocah yang baru bisa ngomong aja ngomongnya pake bibir, lah ini bapak-bapak udah tua bau tanah gitu gak tau caranya ngomong?" lanjutnya berapi-api. Mana mungkin ia tidak tahu apa maksud dari perintah ayahnya itu.
"Udah ngocehnya?" tanya Minhyun dengan tenang, sama sekali tidak terganggu dengan apa yang dikatakan adik tirinya itu.
Daniel mendengus kesal. "Bodo!"
Tanpa mengatakan apapun lagi, pemuda itu pun berbalik dan memilih untuk pergi meninggalkan kakak tirinya yang tanpa ia ketahui, orang itu sedang tersenyum penuh arti di belakang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
I.P.U || HyuckNa
Ficção Adolescente[Brothership] Saudara kembar itu adalah sebuah cermin. Jika saling berhadapan, mereka akan terlihat seperti sedang melihat pantulan mereka sendiri. Memang benar begitu. Tapi disini, siapapun akan dapat membedakannya dengan mudah. Siapa matahari, dan...