16

715 95 4
                                    

Selamat Membaca...
.
.
.

***

Wajah Naruto tetap datar, ia tak gentar sedikit pun meski sang Ibu kini berada tepat didepannya. Tatapan Khusina semakin tajam, menghunus safir Naruto hingga ke jantung. Sedari tadi, sejak mereka tiba di Mansion Namikaze, Khusina sudah menyambut dengan tatapan tajamnya.

Hinata dan Menma khawatir akan apa yang terjadi pada adik dan suaminya. Sudah sepuluh menit berlalu namun keadaan masih sama. Tiba-tiba saja Khusina berlutut di kaki Naruto. Hinata, Menma dan tentu saja Naruto begitu terkejut melihat tindakan Khusina. Apa-apan tindakan Ibunya ini, begitu kira-kira pikiran Naruto saat ini. Naruto masih membeku, belum percaya jika sang Ibu yang selalu angkuh kini bersimpuh dikakinya. Tak lama dari itu, terdengar suara isak tangis dari Khusina.

Jemari lentik Khusina meremat kuat kaki Naruto, "Maafkan, aku. Maafkan wanita jahat seperti diriku. Tolong maafkan aku, Naruto," ucap Khusina dengan lirih. Tubuh Naruto rasanya bergetar, selama ini Khusina enggan untuk menyentuh Naruto dan lihatlah kini Khusina meremat kaki Naruto. Sentuhan ini pertama kalinya membuat mata Naruto dipenuhi cairan bening. Penglihatannya bekabut tak jelas. Nafasnya memburu, rasanya sulit untuk percaya saat wanita yang sangat membencimu sedari lahir kini berlutut memohon maaf padanya.

"Naruto, maafkan Ibu, nak," suara Khusina hampir hilang ketika mengatakan itu. Air mata Naruto berlomba keluar dari pelupuk matanya. Tubuhnya tetap kaku tapi hatinya sedikit menghangat. Benarkah ibunya menyesali perbuatannya selama ini?

"Hukum Ibu, jika itu membuatmu puas," lirih Khusina lagi.

Menma dapat merasakan ibunya tidak sedang bersandiwara. Sebenarnya, apa yang terjadi dirumah ini ketika mereka tidak ada dirumah? Dari lantai dua, Minato menatap nanar istrinya. Sudah sepantasnya Khusina memohon maaf sampai bersimpuh pada putra bungsunya. Ini bukan hanya tentang hubungan Ibu dan anak tapi ini juga tentang kemanusiaan.

"Naruto-kun," panggil Hinata pelan tapi masih bisa Naruto dengar. Naruto mengerti isyarat yang diberikan Hinata padanya agar memaafkan Ibunya. Naruto sendiri sangat ingin sekali merengkuh ibunya tapi tubuhnya sungguh sangat kaku.

"Berdirilah," serak Naruto.

"Tidak, Ibu tidak akan berdiri sebelum mendapatkan maaf darimu," balas Khusina dengan masih menangis.

"Berdiri atau tidak pernah aku maafkan?"

"Maaf, Bu. Tubuhku terasa kaku," batin Naruto.

Khusina berdiri dari bersimpuhnya, hampir saja kembali jatuh ke tanah namun segera ditopang Naruto. Khusina memeluk Naruto untuk pertama kalinya. Menyesali semua tindakannya pada Naruto selama ini. Keegoisan yang selama ini menyetir Khusina telah lenyap. Mengapa bisa lenyap? Tunggu saja disini.

Khusina meraung keras ketika memeluk Naruto, keadaan Naruto tak jauh beda hanya saja pria itu menangis dalam diam. Hinata juga turut menangis bahagia, semoga saja suami dan Ibu mertuanya bisa seperti layaknya ibu dan anak.

"Maaf," suara ucapan itu hilang ditelan tangis. Naruto membalas pelukan Khusina semakin membuat tangis Khusina kencang dan pelukan mengerat.

"Maafkan wanita bodoh ini. Sungguh maafkan aku, Naruto," masih saja menggumamkan kata maaf pada putra bungsunya. Naruto yang sudah mulai bisa mengontrol dirinya membawa Khusina dalam gendongannya. Mendudukkan Ibunya di sofa ruang tamu Mansion Namikaze. Naruto duduk dilantai, tepat dikaki Khusina. Ya, Naruto ganti bersimpuh pada Khusina.

"Jangan pernah lagi melakukan hal seperti tadi padaku," ujar Naruto pelan sekali. Hanya tangis yang keluar dari mulut Khusina.

"Kau adalah Ibuku tidak pantas seorang ibu berlutut pada anaknya,"

"Tapi ak-aku sang-at berdosa padamu, nak." Naruto menggeleng pelan dan dengan pelan Naruto memberanikan diri menghapus air mata Khusina dipipinya dengan tangan yang gemetar.

"Tingkatku tetap berada dibawahmu, Bu. Bagaimana bisa surga yang berada dikakimu lebih rendah dari kepalaku," ujar Naruto yang kini memperhatikan wajah ibunya, ternyata secantik inikah ibunya?

"Ibu akan ceritakan mengapa ibu membencimu,"

"Tidak perlu Bu, aku tidak mau tau tentang hal itu. Bisakah mulai sekarang kita membuka lembaran baru dan melupakan masa lalu saja, Hem?" Khusina menatap wajah tampan Naruto yang sangat mirip sekali dengan Minato. Betapa bodohnya Khusina selama ini, menyia-nyiakan putranya sendiri.

"Ibu janji, nak. Mulai sekarang ibu akan adil terhadap kalian. Bolehkah ibu memeluk kalian?" Naruto menoleh pada kakaknya, tentu saja diangguki Menma antusias.

"Kemarilah," titah Khusina dengan suara yang serak.

Minato menangis, melihat istri dan anak-anaknya saling memeluk. Akhirnya apa yang ia impikan selama ini menjadi kenyataan.

"Hiks hiks...maafkan Ibu nak, Ibu janji mulai saat ini akan memberikan kasih sayang yang adil. Ibu akan berusaha menjadi ibu yang baik untuk kalian, ibu janji, Menma...Naruto..."

***

Hanabi menatap datar ayah dan kakak lelakinya. Sejak kepergian Hinata, dirinya masih saja ditatap penuh tanda tanya oleh Ayah dan kakaknya.

"Memang kau mencintai Menma?" tanya Neji pada adik bungsunya.

"Nii-san, percaya tidak cinta pandangan pertama?" Bukannya menjawab pertanyaan kakaknya Hanabi malah menimpali dengan pertanyaan lagi.

"Percaya sih," jawab Neji.

"Nah, seperti itu kira-kira perasaanku pada Menma-nii,"

"Bukan karna dia kaya?" cecar Neji lagi.

"Itu salah duanya, salah satunya ya karna Menma-nii tampan," mengatakan itu dengan tangan menekan pipinya yang sudah memerah.

Hikari tersenyum, "Menma anak baik, beberapa hari ini dia selalu membantu Ibu. Dia bilang, keluarganya tidak sehangat keluarga kita ini," ucap Hikari.

"Hangat? Keluarga kita ini lebih ke absurd Ibu," sahut Hanabi.

"Kau tidak tau nak, seperti apa keluarga dimata setiap orang. Mungkin bagimu keluarga kita biasa saja, absurd tapi bagi Menma kehangatan keluarga kita seperti ini yang ia cari,"

"Siapa dulu pemimpinnya rumah tangganya?" Ujar Hiashi dengan bangga sembari menepuk dadanya.

Hanabi dan Neji sama-sama berdecih melihat kelakuan terlalu percaya diri ayah mereka. Hikari tertawa, ia sungguh bahagia memiliki keluarga seperti ini. Menikah dengan seorang lelaki yang tepat akan menjadikanmu ratu didalam rumah tanggamu itu adalah fakta.

"Kau kan masih kuliah,"

"Memangnya kenapa kalau masih kuliah terus menikah?"

"Apa kau bisa membagi waktumu? Belajar dan melayani suamimu?" Hanabi terdiam mendengar pertanyaan dari Neji. Benar, siapkah Hanabi memerankan peran ganda? Sebagai mahasiswa dan sebagai istri?

Kediaman Hanabi menjadi pertanda jika Hanabi masih belum siap tapi mengapa bocah ini masih ngeyel untuk tetap menikah dengan Menma?

"Ayah, bilanglah pada Menma untuk menunggu sampai Hanabi lulus kuliah," usul Neji pada Ayahnya.

"Bukankah kau masih ingin menjadi seorang sekretaris? Jika kau lulus kuliah kau bisa melamar menjadi sekertaris Menma kan? Aku yakin tanpa test," setelah mengatakan itu Neji tertawa.

Hanabi menghela nafas, mengapa dikeluarganya tidak ada yang waras barang satu orang pun? Untung saja masih ada Naruto-nii nya yang bisa berpikir layaknya manusia.

"Sudahlah, kalau sudah jodoh mau diundur pun akan percuma," ujar Hiashi.

"Ayah setuju?" tanya Neji.

"Setuju saja, Ayah malah tidak suka jika putri ayah pacaran. Anak jaman sekarang pacarannya seperti sudah suami istri jadi nikah saja sekalian bisa mencegah hal-hal buruk juga. Hamidun duluan misalnya,"

"Ayah...!" Teriak Neji dan Hanabi bersamaan sedangkan Hikari hanya menggelengkan kepalanya saja. Sudah biasa.

***

Bersambung...
.
.
.
Arigatou Gozaimasu...

Bear The BurdenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang