20 END

1.7K 142 31
                                        

Selamat Membaca...
.
.
.

***

Hiashi berusaha mengubah wajahnya sesantai mungkin tapi tetap tidak bisa. Ayah dari Hinata itu benar-benar khawatir dengan keadaan Hinata sekarang. Didalam sana, putri tengahnya sedang berjuang melahirkan cucu keduanya. Wajah Hiashi akan semakin tegang jika rungunya mendengar pekikan Hinata. Hikari pun sama, tapi ia lebih tenang menghadapi ini semua.

Neji dan Tenten juga berada disana, anak mereka yang berumur tujuh bulan dititipkan pada pengasuh. Mereka semua khawatir dengan keadaan Hinata. Hanabi dan Menma yang baru saja sampai beberapa waktu lalu juga tak kalah cemas.

Khusina tidak sadarkan diri setelah ia tadi yang mendapati Hinata kontraksi dengan air ketuban yang sudah keluar kemana-mana. Untung saja pagi tadi Naruto tidak berangkat ke kantor. Pukul sembilan pagi, Hinata mengalami pecah ketuban namun hingga dua jam berselang tidak ada tanda-tanda pembukaan. Dokter mengambil tindakan dengan memberi rangsangan pada janinnya agar mau mendorong. Hingga beberapa puluh menit yang lalu Hinata sudah siap melahirkan.

Menma meremas tangan istrinya, ketika pekikan Hinata terdengar sangat menyakitkan. Menma tidak bisa membayangkan sesakit apa Hinata didalam sana. Mengingat adik iparnya adalah wanita yang kuat.

"Apa melahirkan itu sangat sakit?" Tanya Menma entah pada siapa.

"Tidak, itu hanya seperti tubuhmu di mutilasi menjadi beberapa bagian." Sahut Tenten dengan senyum dipaksakan. Wajah Menma pucat pasi mendengar ujaran Tenten yang tentu saja hanya gurauan itu.

Hanabi terkikik melihat wajah suaminya yang pucat. Kini Hanabi tau dan merasakan, betapa bahagianya dicintai sepenuh dan setulus hati oleh seorang pria seperti yang dialami kakak perempuannya. Menma, mencintai Hanabi setulus hati pria itu, tidak pernah sekali pun selama hampir delapan bulan ini suaminya membentak atau berkata kasar padanya. Menma juga akan sangat cemas jika tau Hanabi tidak sehat.

"Tidak, jangan dengarkan Tenten-nee, melahirkan memang sakit. Kata temanku yang dokter, jika rasa sakit akan melahirkan dikumpulkan itu sama dengan rasa sakit dari seribu penyakit dijadikan satu." Jelas Hanabi, "tapi kami kaum wanita sanggup menahan itu demi satu kehidupan baru." Lanjut Hanabi dengan meremas balik tangan suaminya, menenangkan kecemasan Menma.

"Terimakasih sayang. Jika kau hamil nanti, aku janji akan menemanimu dari awal hingga bersalin seperti ini. Aku harap, aku juga merasakan seperti Naruto yang menanggung gejala awal kehamilan. Daripada kau yang harus menanggungnya, sudah mengandung selama sembilan bulan ditambah harus morningsicknes aku tidak akan tega melihatnya."

Hanabi tersenyum seraya bersandar pada bahu kokoh Menma.

"Terimakasih."

Hiashi masih diam, pria itu juga sangat tegang tapi mengapa tidak ada yang menenangkannya. Hikari duduk dengan anteng disampingnya. Hikari memang tidak bisa romantis. Sama seperti dirinya. Kini ia sadar, romantis itu sangat perlu.

Tak lama suara kencang tangisan bayi membuat mereka semua tersentak. Hiashi sampai terbangun dari duduknya mendengar nyaringnya suara cucu keduanya.

"Aku menjadi kakek lagi...!" Seru Hiashi bahagia. Hikari mengusap ujung matanya yang berair. Hanabi pun sama terharunya, suara tangisan itu merasuk sampai sanubari Hanabi dan Menma. Naruto keluar dari ruang bersalin dengan wajah yang sudah dipenuhi air mata bahkan mata Naruto sedikit sembab.

"Naruto, laki-laki atau perempuan?" Tanya Hiashi tidak sabar.

"Laki-laki, Ayah." Jawab Naruto yang kini sudah duduk dikursi. Hikari melihat tubuh menantunya bergetar. Mendekat pada Naruto, Hikari mengelus punggung menantunya.

Bear The BurdenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang