14

988 137 36
                                    

Selamat Membaca...
.
.
.

***


Naruto melihat Hanabi yang mengeluarkan kasur dari gudang. Dengan mengeryit Naruto tetap memperhatikan adik iparnya itu. Untuk apa kasur itu?

"Maaf, Naruto-nii," ujar Hanabi pada Naruto yang menghalangi jalannya.

"Untuk apa?"

"Ah, ini. Kasur ini untuk aku tidur. Selama Hinata-nee dan Naruto-nii ada disini aku akan tidur didepan tv hehehe,"

"Mengapa begitu?"

"Kamar kami tidak cukup. Dulu aku satu kamar dengan Hinata-nee,"

Naruto mengerti sekarang, agaknya usulan kakaknya untuk membelikan keluarga Hinata rumah yang lebih besar ada benarnya juga.

"Sepertinya, memang butuh rumah yang lebih besar,"

"Tidak perlua, nii-san. Kami tidak mau pindah dari rumah ini. Disini kami semua mengukir mimpi kami," jawab Hanabi dengan senyuman teduh.

"Kalau begitu renovasi saja," usul Naruto.

"Nah, kalau itu bisa hehehe,"

"Baiklah, nanti akan aku diskusikan dengan ayah dan Ibu,"

"Sudah memilih mobilnya?" Naruto membantu Hanabi memasang sprei pada kasur gadis itu.

"Sudah. Ternyata enak jadi orang kaya, mau apa tinggal pilih saja tanpa harus memikirkan harganya,"

"Benar, maka kuliah yang benar lalu lulus dengan nilai terbaik dan bekerja ditempat berkualitas," nasehat Naruto dengan mengusap pucuk kepala Hanabi.

"Andai Neji-nii dan Hinata-nee seperti Naruto-nii pasti aku bahagia," terkekeh saja ketika mendengar celotehan Hanabi. Hinata dan Neji memang sama saja, tapi Hanabi bersyukur memiliki kakak seperti mereka yang sangat menyayanginya meski dengan cara berbeda.

"Aku pamit ke kamar dulu ya,"

***

Untung saja Neji tidak jadi datang karena ada pekerjaan mendadak jadi kamar Neji bisa dipakai Menma. Kini pria itu sedang tersenyum mengingat tadi ia dan Hanabi pergi membeli mobil. Menma kira Hanabi galak, judes, seperti Hinata tapi ternyata Hanabi lebih humble dan juga periang. Menma sangat suka berada didekat Hanabi. Ah, Oalah ia jatuh cinta pada adik Hinata itu.

Senyumnya terus merekah cerah, Menma selalu suka mengingat senyum Hanabi, tawa Hanabi yang renyah dan enak didengar telinga Menma.

"Aku jatuh cinta pada pandangan pertama," ujar Menma. Ia malu sendiri dengan kelakuannya. Lihatlah saat ini ia sendang menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan tersenyum-senyum.

"Hinata marah tidak jika aku menjadi kekasih adiknya? Ckkkk, adik iparku satu itu jinak-jinak merpati. Mana tidak mempan aku sogok dengan uang," gerutu Menma. Hinata sangat sulit dibujuk dengan uang, wanita Naruto itu sangat tegas dan berpendirian. Maka dari itu Menma pusing sendiri memikirkan cara meluluhkan Hinata jika ia mengutarakan keinginannya menikahi Hanabi. Menikahi? Ya, Menma sudah bukan pria muda yang harus bergonta ganti kekasih. Ia sudah ingin membina keluarga seperti adiknya, Naruto. Tapi kini hatinya malah bertaut oleh adik dari istri Naruto yang galaknya setengah mati. Sudah galak, judes, jago karate pula lengkap sudah kesusahan ini.

Tadi Menma juga sudah meminta maaf pada orang tua Hinata perihal kelakuannya dulu pada Hinata. Menma berkata jika ia tersesat dan tidak tau jalan pulang makanya berbuat seperti itu. Sekarang Menma sudah sadar dan berjanji tidak akan nakal lagi.

Bear The BurdenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang