Malam kelam tak berbintang, langit menampakkan wajah kelabunya menyelimuti bumi dengan keheningan.
Seorang gadis berkaki jenjang terlihat berjalan lurus dengan langkah cepat diantara gelap malam yang hanya di sinari oleh lampu-lampu gantung taman berwarna orange.Rambut panjangnya yang berwarna emas membentuk gelombang air laut menghempas punggung indahnya yang terdapat beberapa bekas luka yang mulai memudar, namun tertutup oleh dress yang di pakainya. Tak nampak dari penampilannya yang begitu menawan kalau gadis itu sebenarnya sedang melarikan diri dari rumah. Seolah sedang berlibur, gadis itu melakukannya dengan sangat baik. Untuk apa juga memperlihatkan semua rasa sakitnya kepada seluruh dunia yang tidak peduli dengan siapapun.
Ini adalah malam terakhir gadis bernama Anna itu disini, ia memutuskan untuk kembali pulang ke rumah setelah hampir satu minggu berada di kota asing ini. Anna pergi dari rumah tanpa membawa satu benda apapun selain hanya pakaian yang di pakainya hingga detik ini. Namun tentu dengan perbekalan yang cukup, berupa uang yang jumlahnya tak sedikit di dalam kartu debit card, yang dia ambil diam-diam dari dalam laci meja, di kamar milik Ibunya.
Malam yang dingin seolah mewakili hati gadis 18 tahun yang sebenarnya masih di liputi keputus-asaan, memang tidak ada gunanya melarikan diri dari masalah. Tapi Anna tidak memiliki kemampuan untuk kembali menghadapinya. Ini bukan masalah yang bisa ia selesaikan hanya dengan memberontak, karena keputusan yang di buat Ibu bersifat mutlak yang tidak bisa dibantah. Jadi, anggap saja ia melarikan diri sebagai bentuk hiburan sebelum terjun ke dalam neraka kehidupan yang sesungguhnya.
Angin malam berhembus kencang menerbangkan dress mocca model vintage setinggi lutut tanpa lengan yang dikenakan oleh Anna. Dingin menyeruak membangunkan bulu kuduknya yang hanya di lapisi oleh furing tille berwarna cream yang menutupi seluruh leher hingga pergelangan tangannya. Anna melangkah gontai mengayunkan tas bulat kecil yang menggantung di bahunya, menelusuri jalan kecil yang ada di antara taman kota.
Langkah Anna terhenti ketika melihat sosok laki-laki yang sedang duduk melengkung menenggelamkan kepalanya dalam-dalam diantara kedua lututnya, nafasnya yang mendengus kasar mengisyaratkan dengan jelas bahwa laki-laki itu dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Entah mengapa, Anna tergerak untuk mendekatinya. Siapa yang tahu jika laki-laki asing itu sedang dalam kondisi yang sama kacaunya seperti dirinya. Kemudian cara melampiaskan nya adalah dengan menikmati waktu sendirian dalam keputus-asaan, begitulah yang biasa manusia lakukan ketika berduka atas kehidupan yang tak memberi keadilan. Persis seperti dirinya yang hanya diam mendekam menikmati kesunyian di dalam kamar hotel selama 24 jam tanpa ada niat untuk keluar sedikitpun.
Baiklah! Setelah Anna meyakinkan diri, iapun langsung datang menghampiri laki-laki tersebut, lalu berdiri memperhatikannya dari jarak yang cukup dekat, sekitar 50 cm.
Ada sedikit suara isak yang terdengar di antara nafas yang memburu itu. Semakin Anna mendengarkan dengan seksama, maka ia semakin mendapatkan sebuah sinyal kuat yang memancarkan kepedihan yang mendalam.
"Tuan, aura kegundahan anda menyelimuti seluruh alam, sampai-sampai aku tidak mampu mengabaikannya begitu saja."
Anna kemudian bersuara pada laki-laki yang masih enggan mengangkat wajahnya meski telah menyadari kehadiran seseorang di depannya.
"Bolehkah aku duduk menemani anda, tuan?" Anna kembali menyapa.
Walau tidak mendapatkan persetujuan, Anna tetap mengambil tempat duduknya pada bangku panjang yang terbuat dari kayu, tepat di sebelah tubuh lelaki yang di selimuti oleh coat abu, dari brand ternama- Christian Daior. Bahu lebar laki-laki itu terlihat berguncang, meringkuk dalam, menikmati pilu jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVANNA
RomanceLaki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan. Dan wanita ber...