Langkah Anna mengayun cepat di antara beberapa orang yang berlalu lalang sambil bergandengan tangan bersama kekasihnya. Sesekali suara cekikikan manja keluar dari bibir sang wanita yang sedang menikmati obrolan kecil di tengah kebisingan suara kendaraan yang padat di penghujung sore ini.
Kali ini Anna tak ragu-ragu begitu Devan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil mewah itu. Untuk apa memelihara keraguan yang bertolak belakang dengan hasratnya yang ingin selalu berada di dekat pria itu.
Iapun segera melakukan perintah tersebut dan langsung mengambil tempat duduknya tepat di samping Devan yang duduk di kursi kemudi. Anna lalu menutup pintu mobil dengan tarikan yang kuat seperti sebelumnya, sehingga menimbulkan suara yang cukup keras, membuat pria di sebelahnya itu sedikit tersentak. Namun yang nampak setelahnya justru senyuman lebar dari pria berwajah eropa yang terlihat senang menyambut kehadirannya.
"Sudah bisa memakai sabuk pengaman atau- mau aku pakaikan?" Devan memberikan pertanyaan dalam bentuk godaan.
"Saya bisa!" Jawab Anna dengan tegas, namun hatinya begitu gugup. Detak jantung yang tak kunjung mereda ini sangat mengganggu gaya bicaranya.
"Apa yang kau beli?" Tanya Devan pada Anna yang sedang melingkari tubuhnya dengan sealt belt.
"Obat pereda nyeri." Jawab wanita yang masih fokus dengan kesibukannya sendiri.
Devan mendenguskan nafasnya, lembut. "Mengapa tadi ketika di kantor kau terlihat baik-baik saja, seolah kakimu tidak mengalami cidera."
"Saya harus bekerja secara profesional dalam keadaan apapun," jawab Anna seraya mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman.
"Tapi di depanku kau tidak bisa berpura-pura, aku bisa melihat betapa sulitnya dirimu menahan sakit, nampak jelas dari raut wajahmu yang sesekali mengetat. Karena itu aku juga sudah menyiapkan perawatan kaki untukmu." Devan menunjuk ke belakang dengan jempolnya.
Anna melongok ke arah dimana benda yang di maksudkan Devan itu berada. Sebuah kotak medis berwarna putih terlihat duduk manis di atas sofa mobil bagian belakang.
"Anda sungguh di luar dugaan." Tukas Anna. Ya, Devan sungguh tak terduga, pria yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap wanita itu mampu menyelindapkan sebuah kesan penghormatan yang tinggi di dalam dada Anna.
Devan hanya menanggapinya dengan anggukan halus, sambil sebelah tangannya menjamah tisu di atas dashboard mobil, lalu mengusapkan ke kening Anna yang menyimpan tetes-tetes air itu.
Manik hijau Anna menangkap potret pria yang memasang wajah berseri itu sejenak, lalu beralih ke arah depan. Segurat senyuman nampak di balik tingkahnya yang tersipu. "Boss,,," lirihnya.
"Namaku Devan Artyom. Kau tidak perlu menggunakan etika formal ketika di luar. Aku suka ketika kau menyebut namaku."
"Tapi-"
"Ini perintah! Apa harus seperti itu baru kau mau menyenangkan aku?" Devan melepaskan kata-katanya begitu saja tanpa beban.
Anna mengangguk, dua kali, tanda patuh. "Baiklah." Kali ini Anna menyimpan kuat-kuat senyuman besar di dalam mulutnya, dan hanya memperlihatkan segaris senyum kecil di bibir. Ini tanda bahagia yang tak berani ia nampakkan secara nyata.
Oke! Tidak ada pilihan lain selain menuruti keinginan Devan. Lagi pula dalam hati kecilnya, Anna pun sangat senang menyebut nama itu- Devan Artyom. Sebuah nama yang paling lekat dalam sanubarinya, adalah hal yang sangat menguntungkan jika di izinkan menyebut nama itu di depan pemiliknya. Bahkan Anna ingin meneriakkan nama itu keras-keras hingga menggema di seluruh alam semesta.
"Oke, mari kita berangkat." Devan memindahkan tuas persneling mobil, melepaskan pedal rem perlahan hingga roda mobil ini melaju ke jalan besar.
Anna hanya diam memandang pemandangan yang tampil silih berganti. Jalanan terlihat padat oleh kendaraan karena ini adalah waktu orang-orang berangkat serta pulang dari aktivitas sehari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEVANNA
RomanceLaki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan. Dan wanita ber...