16. Air Mata Saat Hujan

88 50 25
                                    

Malam mendadak berwajah muram mencekam, awan hitam berarak berkumpul pada satu titik dimana sebongkah hati manusia sedang di liputi oleh rasa traumatis yang teramat besar.

Samar-samar, suara gemuruh di langit menggambarkan getaran yang sedang menguasai tubuh seorang perempuan, yang kini tengah berdiri membeku. Di dalam pikirannya sedang berkecamuk antara dua pilihan.
Maju atau mundur? Mumpung Devan nampaknya belum pergi meninggalkan tempat ini. Haruskah ia kembali dan meminta Devan membawanya pergi?

Namun, belum sempat Anna menetapkan satu pilihan, Alia- Ibunya, sudah terlebih dahulu menentukan pilihannya sendiri, untuk segera membawa anak perempuannya itu dengan kesabaran yang tidak pernah ada, hanya emosi yang menjadi pegangan utamanya.

Melihat Anna yang pulang selarut ini, tentu saja membuat Alia sudah tidak bisa berkata-kata lagi, melainkan hanya permainan tangan yang akan ia andalkan sampai amarahnya mereda nanti.

Alia tak mau membuang waktu lagi hanya untuk menatap ekspresi menyedihkan perempuan muda yang kelihatannya sudah tahu betul apa salahnya, dan apa penyebab Alia harus memberikannya hukuman malam ini. Rupanya, anak perempuannya itu meremehkan nya.

Alia langsung melangkah maju, dan tanpa ampun menjambak rambut kepangan Anna yang sebelah kiri, kemudian menyeretnya secara kasar menunju kediaman mereka yang ada di ujung sana, pada ketinggian lebih dari 200 meter.

Anna yang sudah di kuasai oleh rasa takut yang berlebih, tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya pasrah, menerima hukuman terburuk yang sempat terlupakan sesaat, selama bersama dengan Devan.

Sepanjang perjalanan ia mengomel tiada henti, tidak peduli walau suaranya menembus langit pertama, Alia kelihatannya sudah tidak bisa mengatasi amarahnya yang meluap.

"Apa yang kau lakukan di luar sampai tengah malam begini, kemudian pulang di antar dengan mobil oleh seorang laki-laki. Sedangkan aku sudah berjam-jam menunggumu di pinggir jalan, tanpa ada kabar apapun darimu, ternyata inilah yang kau lakukan."

"....."

"Apa kau tau? Mencabik tubuhmu saja rasanya tidak akan cukup. Dasar anak yang tidak tau di kasihani. Harus aku apakan kau biar aku puas, hah?!"

"....."

"Anak setan! Baru saja sehari kau di bebaskan keluar, sudah begini kau mengecewakan aku." Dengan nafas tersengal-sengal, wanita paruh baya itu mengeluarkan sumpah serapahnya.

Langkah Anna terjungkal-jungkal, mengikuti jejak kaki Ibunya yang berjalan mengambil langkah secepat-cepatnya, dengan mulut yang mengeluarkan berbagai macam kata-kata buruk, yang menusuk pendengaran Anna.
Sedangkan rasa sakit di kepala Anna sudah tidak terhingga, seolah seluruh akar rambutnya sudah tercabut dari kulitnya.

Mengerangpun Anna sudah tak kuasa, selain hanya mengutuk diri dalam hati, karena telah melakukan kesalahan fatal dengan pulang selarut ini. Ini murni salah Anna, ia pantas di hukum. Seperti itulah wanita malang itu selalu berakhir dengan menyalahkan dirinya sendiri.

Hujan deras turun secara tiba-tiba, sebagai bentuk iba sang semesta pada satu makhluk bumi yang sedang merintih dalam duka. Devan yang terlambat menolong karena tidak memprediksi kejadian mengerikan di depan matanya itu harus terjadi, membuatnya terpaku sampai tak terpikirkan harus berlari keluar melerai wanita paruh baya itu untuk menyakiti Anna.

Secepat kilat kedua perempuan itu menghilang dari pandangan Devan yang kini sedang turun dari mobilnya untuk mengejar Anna. Tak lupa Devan menyambar tas dan kaca mata milik Anna yang tertinggal di pinggir jalan, lalu membawanya ikut serta menaiki jalan menanjak ini untuk menyusul Anna.

Jalanan sempit yang terbuat dari paving block ini terasa licin akibat derasnya air hujan yang mengalir dari atas sana. Dalam sekejap bumi langsung basah tanpa satu celahpun yang terlewat. Meskipun begitu, Devan terus berlari dengan kaki jenjangnya menghempas arus air dengan sepatu kulit brogue nya yang mengayun berat. Jarum air menghujam tubuhnya tanpa henti, ia menyibak kelambu air yang menutupi pandangannya dari objek yang sedang di fokuskan nya.

DEVANNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang