"Apa?! Serius?!"
Orang di sebrang sana berdehem malas, dia bahkan mengusap telinganya yang panas akibat teriakan Ayesha.
Walau gadis itu tidak ada di hadapannya dan mereka hanya saling menelpon, tapi teriakan Ayesha benar-benar membahana.
"Iyaa, Ayyy! Photoshootnya nanti lo harus pose romantis sama model cowok. Lo kan dulu biasanya sama Kevin, lusa modelnya ganti, Kevin lagi di luar negri, jadi lo bakal photoshoot sama Giel," jelasnya panjang lebar.
Namun, Ayesha malah sedang sibuk membuka file hasil pemotretannya, dia terbelalak melihat pemotretan romantis yang disebutkan Maxime lewat panggilan telepon.
Photoshoot yang biasa Nayesha lakukan. Seriusan?!
Mungkin bagi beberapa orang ini hal wajar, atas dasar pekerjaan. Tapi bagi Ayesha yang kurang suka melihat pemotretan apalagi photoshoot romantis, tentu ini terlalu.... intim?
"Gue gak bisa, Max," tolaknya setelah melihat bagaimana mesranya Nayesha dengan model lawannya dengan pakaian kurang bahan khas Nayesha.
Sumpah demi apapun, Ayesha bukan orang yang suka menggunakan baju press body apalagi kurang bahan, paling mentok dia menggunakan hotpansnya, itupun dengan hoddie oversize.
"Why? You like doing this work, kenapa lo tiba-tiba nolak gini?" Tanya Maxime merasa aneh dengan kelakuan Ayesha yang benar-benar tak seperti Nayesha.
Jelas mereka adalah dua jiwa yang berbeda. Andai saja Maxime tahu itu.
"I don't know, tapi..... gue bosennn," rengeknya menolak untuk melakukan pemotretan.
Disaat gadis itu masih sibuk menggulir mouse untuk memperlihatkan seluruh foto hasil pemotretan, dia akui, Nayesha nampak sangat keren.
Matanya melirik sekilas pada Ghava yang berjalan ke arahnya lalu duduk di sofa, tepat di belakang dia tengah bersandar.
"Mass!" Seru Ayesha ketika tanpa beban Ghava menumpukan dagunya pada kepala Nayesha.
Dengan kaki bersila, Ghava menggoyangkan dagunya dan berhasil mengacaukan rambut Ayesha.
"Aneh banget lo, Ay! Terus gue harus bilang apa sama pak Halim?!—" Ayesha menatap handphonenya yang masih menyala memperlihatkan durasi panggilan.
"Lo yang mikir lah, Maxime. Pa gunanya lo jadi asisten gue coba?"
"Yeee, ni orang minta dijambak asli," gerutu Maxime membuat Ayesha terkekeh.
Dia menatap pantulan Ghava melalui layar laptopnya. "Ya ilah, gaji lo gede jadi asisten gue, emang lo mau gak kerja sama gue lagi?" Tanyanya menantang.
Terdengar Maxime di sebrang sana tersedak. "Ck, gini amat bos gue," sahutnya hanya dijawab gelak tawa Ayesha.
"Intinya gue gak mau pemotretan besok, lo pikirin sendiri alasannya, papay."
Setelah mengatakan sederet kalikat tersebut cepat, Ayesha langsung langsung memutuskan sambungan panggilan, dia terkekeh membayangkan raut sok imut Maxime ketika kesal padanya.
"Kamu cantik," celetuk Ghava tiba-tiba.
Sontak Ayesha memasang raut bingung. "Tapi saya tidak suka kamu yang di sana," tunjuknya pada layar laptop yang menyala.
"Why?" Tanya Ayesha menggelengkan kepalanya agar Ghava terganggu.
Siapa suruh pria itu seenaknya menumpukan dagunya kepala Ayesha?
"Kamu terlihat sangat romantis dengan pria itu," jujur Ghava menduselkan hidungnya pada rambut Ayesha.
Sambil mengambil kesempatan, dia menghirup aroma rambut Ayesha yang begitu manis di indra penciumannya.
"Mass! Rambutku jadi kacau nih!" Desisnya menampar kesal wajah Ghava sambil merapikan rambutnya.
"Kamu suka seperti itu?" Tanya Ghava menghentikan gerakan jari Ayesha menggulir mousenya. "Apa?"
"Dipeluk dia," jawab pria itu mulai memeluk leher Ayesha. "Saya gak suka lihatnya." Lanjutnya dengan nada yang jelas tengah cemburu.
"Kenapa gak suka?" Pancing Ayesha, jujur saja, gadis itu menyukai setiap sikap manis Ghava padanya.
Dia menyandarkan kepalanya pada kaki Ghava ketika suaminya menegakkan tubuhnya.
"Kamu hanya milik saya," jawabnya menunduk, menatap Ayesha yang mendongak menatapnya.
Ayesha terkekeh.
"Hihhh, main claim aja, siapa coba yang bolehin mas buat nge-claim aku cuman punya mas?"
Nampak Ghava mendengus kesal, jelas dia tidak suka dengan ucapan Ayesha.
Dengan tiba-tiba dia menunrunkan wajahnya hingga hidungnya menyentuh hidung Ayesha. "Ketika saya menikahimu, saat itu juga... kamu hanya milik saya," ucapnya.
Cup
"Mas?!" Tubuh Ayesha langsung menegak saat Ghava sudah menjauh wajahnya.
Apa-apaan pria itu?! Bisa-bisanya Ghava mencium keningnya dan membuat jantungnya terasa ingin melompat dari tempatnya.
"Apa? Saya cium istri saya, bukan simpanan saya," sahut Ghava tertawa kecil, berhasil mengambil kesempatan.
"Massss!" Teriak Ayesha memukul Ghava sebelum menutup wajahnya dengan telapak tangannya untuk menutupi wajah memerahnya.
Tawa Ghava langsung saja memenuhi ruang tamu. Ghava menyukai melihat Ayesha yang malu-malu seperti ini.
Suara bell terdengar membuat Ayesha dan Ghava sontak menatap pintu rumah mereka yang tertutup.
Baru saja Ayesha ingin bangkit, Bi Ayu sudah lewat didepan mereka. "Eh, non, den," sapa Bi Ayu pada orang yang ada di balik pintu.
"Pak Ghava-nya ada kok, den," ujar Bi Ayu menyahut orang yang masih tidak bisa dilihat Ghava dan Ayesha.
Ayesha dan Ghava saling tatap dengan kening berkerut. Siapa datang ke rumah mereka di saat jam hampir menunjukkan pukul 10 malam?
"Ayo masuk, den, non." Bi Ayu mempersilakan dua remaja beda jenis gender itu untuk masuk ke rumah Ghava.
Beberapa saat Ayesha terdiam. Bukan, bukan terpukau dengan tampang kedua manusia dengan paras hampir sempurna tersebut. Namun, dia jelas tahu jika salah satunya adalah—
"Ada apa ke sini?"
Remaja laki-laki yang berdiri menghadap mereka terlihat mendengus. "Ini nih abang jahat, lupa sama adek sendiri, iya gak, Gia?"
"Iya Geo," jawab perempuan yang bersama remaja laki-laki tersebut.
—Gia.
Astaga, bahkan tanpa perlu dia cari, kedua protagonis novel dia transmigrasi mendatanginya sendiri.
"Saya bukan penjual bakso," celetuk Ghava menyahut ucapan sang adik.
🌻🌻🌻
MAAF BARU INGET KALAU PUNYA CERITA INI😭✊ AKU LUPAH!
Mian😭 ya sudah nanti update lagi senin yaw...😭😭 maaf dua minggu ngilang😁
KAMU SEDANG MEMBACA
Holaa, Mas Antagonis!
Roman pour AdolescentsRemaja 18 tahun masuk ke tubuh perempuan 21 tahun? Terus, terus... bagaimana menyenangkannya bisa masuk ke tubuh wanita yang dicintai begitu hebatnya oleh pasangannya sendiri? Tentu saja, dengan senang hati dia menerimanya. Tapi.... karena sikapnya...