Bab 31| Berdempetan

177 12 0
                                    

Seperti yang dikatakan oleh Shin, lokasi penjual batagor tersebut memang lah tidak jauh. Hanya membutuhkan waktu tempuh 10 menit dengan berjalan kaki.

Tempatnya bukan penjual yang memiliki tempat sendiri, melainkan hanya mangkal di sana dan kebetulan dijadikan tempat tetap untuk dia berjualan. Mengingat banyaknya pembeli yang membeli di tempat itu. Tempat duduknya pun, hanya kursi kayu panjang biasa tanpa meja. Tapi cukup lumayan rame dari makan di tempat hingga dibungkus.

Dan, ternyata Shin pun cukup terkenal sekarang di Desa tersebut. Hingga, begitu mereka berdua tiba, banyak pasang mata tertuju ke arahnya dan ada beberapa yang menyempatkan diri untuk menyapa.

Shin dengan ramah menyapa mereka, menjawab pertanyaan sebisa yang bisa ia jawab. Karena kebanyakan dari mereka bertanya menggunakan bahasa lokal yang tidak banyak Shin ketahui.

Di samping itu, ada Yul yang tengah melihat-lihat meja kosong. Lalu, dia menemukan tempat duduk kosong itu pun akan berdempetan jika dirinya dan Shin juga ikut duduk. Singkatnya, tempat tersebut paling pas muat untuk satu orang.

Yul merasa, tidak mungkin bagi mereka berdua makan di tempat. Membuat Yul merasa, dibawa adalah pilihan yang terbaik.

Tapi sebelum dirinya mengeluarkan idenya tersebut, ia sudah lebih dulu melihat Shin yang duduk di sana.

"Teh, ayo sini, duduk!," perintah Shin, menunjuk dengan matanya ke arah bagian kosong di sebelahnya.

Melihat hal itu, membuat Yul ingin sekali langsung menolaknya. Tapi Yul tahu, hal itu akan menyinggung banyak orang. Jadi, Yul dengan ragu sambil memikirkan hal lain, berjalan mendekat ke arah Shin.

Di saat yang bersamaan, Shin sudah membuat pesanan, membuatnya mau tidak mau, harus tetap duduk di sana.

"Mang dua, ya..!"

Itu adalah posisi yang nyaman untuk dirinya tapi tidak untuk Shin. Karena Shin akan diampit oleh dirinya yang duduk paling pojok, dan satu orang lainnya di sebelah Shin.

Yul berpikir, seharusnya orang seperti Shin akan merasa tidak nyaman dengan keadaan yang seperti ini. Tapi, Shin sekarang terlihat nyaman dengan posisinya tersebut.

Memang, posisi dirinya mendapatkan posisi yang nyaman, karena tidak terlalu diampit tapi, duduk berdempetan dengan Shin seperti ini, Yul merasa tidak tenang.

Tapi, Yul sebisa mungkin untuk tetep tenang.

Tak lama kemudian pesanan mereka tiba, Shin yang lebih dulu menawari Yul.

"Teh, ayo dicobain," perintah Shin pada Yul untuk segera mencobanya seolah-olah di sini, Yul lah orang belum pernah mencobanya. Padahal sebaliknya.

Yul merasa lucu ketika Shin menawari dirinya dengan sikap seperti itu.

Yul, mengangguk. Mulai mencoba seperti Shin perintah kan.

Shin pun ikut mencobanya, dan dia hanya memberikan reaksi anggukan kepada makanan yang sedang ia makan.

Sejujurnya, batagor yang ia nikmati sekarang, tidak sesuai dengan seleranya. Namun, keberadaan Yul membuat Shin, tidak masalah dengan rasa yang ada. Dia bisa menikmati nya dengan baik.

Yul sesekali melirik ke arah Shin hanya ingin melihat, apakah Shin suka makannya atau tidak. Tapi, setelah melihat Shin makan dengan lahan, Yul merasa lega. Setidaknya, makanan ini sesuai dengan selera Shin.

Ketika Yul sedang menikmati batagor-nya, seseorang datang menyapa.

"Yul!"

Orang itu adalah Robi.

Yul terkejut ketika melihat Robi. Karena, ia tidak pernah menduga akan bertemu dengan Robi.

"Eh, Robi," Yul menyapa kembali, menyembunyikan wajah terkejutnya.

Selain itu, saat ini ia sedang bersama Shin. Takut Robi memiliki pikiran buruk akan hal itu. Tetapi... Yul kembali terpukul dengan keadaan.

Siapa yang akan memiliki pemikiran seperti itu? Semut pun akan menertawakan dirinya. Orang asing pun akan langsung menebak, bahwa dirinya adalah seorang budak miskin dan sedangkan Shin adalah bukan jenis dari golongan biasa.

Yul merasa malu, jika dirinya sampai berpikir tinggi akan dirinya, sampai dicurigai seperti itu oleh orang lain.

"Beli batagor juga?," tanya Yul menebak.

"Iya. Biasa karyawan pada pesen batagor. Sekalian lewat, jadi dibeliin"

"Oh" Yul tak tau lagi harus membicarakan apa lagi. Karena Yul bukan jenis wanita yang cakap dalam berbicara. Ia selalu memiliki pemikiran buntu ketika ada seseorang yang mengajaknya berbicara. Namun, tidak ada satupun yang merasa terganggu dengan hal itu. Warga Desa ataupun Robi, telah memahami sifat Yul yang satu itu.

Yul ingin menawarinya tempat duduk tapi, tidak ada tempat lain.

"Eh, itu yang dari kota itu kan, ya?," tanya Robi pada Yul akan sosok Shin yang tengah menikmati batagor-nya.

Meski seseorang sedang membicarakannya, Shin masih tetep serius makan. Seolah-olah, tidak ada yang menganggunya.

"Iya. Namanya Shin," ujar Yul, dengan hati-hati melihat ekspresi wajah yang ada pada Robi.

Yul melihat Robi terlihat biasa-biasa saja. Yul, lega. Setidaknya statement akan dirinya benar adanya. Tidak akan ada yang memiliki pemikiran seperti itu.

"Oh"

Setelah itu, tidak ada satupun di antara mereka yang saling berkenalan satu sama lain. Robi pun, tidak membahas tentang Shin lagi. Dia melakukannya membahas hal lain, menanyakan keadaan Ibu Yul saat ini, pekerjaan nya di ladang, dan hal-hal lain.

Begitu juga dengan Shin, dia serius makan seolah-olah, dia adalah orang asing yang kebetulan ada di sana.

Pada saat Shin menyelesaikan makan batagor, pesanan batagor Robi pun selesai, membuatnya harus berpisah dengan Yul. Padahal, dirinya masih ingin berbicara lama dengan wanita yang sudah bertumbuh dengan dirinya tersebut.

"Yaudah. Yul saya pulang duluan, ya.
Nanti, saya main ke rumah," ujar Robi berpamitan setelah pesanan batagor telah ia bawa.

"Ah, iya. Hati-hati di jalan," ujar Yul, tersenyum dan senyumannya mengantarkan kepergian Robi, hingga Orang itu benar-benar tidak bisa ia lihat.

Setelah Robi sudah tidak bisa ia lihat, Yul kembali terfokus ke arah Shin.

Berhubung Yul dan Shin adalah pengunjung yang datang paling akhir, hingga tinggal mereka berdua yang masih berada di sana.

"Eh, Shin udah habis?," tanya Yul, ketika melihat piring batagor Shin yang telah kosong. Sedangkan miliknya, masih tersisa banyak karena harus mengajak Robi mengobrol.

"Hm. Yang teteh juga habisin. Saya tungguin," ucap Shin, lanjut minum teh hangat yang diberikan secara gratis.

Namun, Teh yang ada tidak lah sama dengan Teh yang Yul sajikan. Shin hanya meneguknya sedikit.

Tanpa daya, Yul pun melanjutkan menyelesaikan makanannya tersebut. Meski, ia merasa canggung untuk melakukannya. Karena sejak suapan pertama, Shin selalu menatapnya. Kadang sambil menyangga dagu, kadang juga hanya menatapnya saja.

Yul yang selalu tidak percaya diri akan pemikirannya sendiri, menganggap sikap Shin hanyalah sikap biasa, tidak ada maksud lain. Beda halnya jika ia yang melakukannya, sudah pasti, ia menyukai orang itu.

Apalagi ketika, orang di sebelah Shin sudah lama pergi dan dia tidak juga berpindah tempat duduk, masih dengan posisi duduknya yang berdempetan dengan Yul, membuat Yul  berjuang lebih keras lagi untuk tidak terlalu percaya diri.

Yul memaksakan dirinya untuk tidak memiliki harapan lebih pada Shin.

••••••••••

BUJANG KOTA |TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang