Bab 32| Sakit Perut

169 13 0
                                    

Kini mereka berdua sedang dalam perjalanan pulang.

Matahari belum begitu terik, belum memasuki waktu pertengahan siang. Tapi, melihat Shin yang begitu berkeringat banyak, membuat Yul menjadi resah. Ingin membawakan sesuatu untuk melindungi Shin dari panasnya matahari. Terlebih, Yul juga melihat wajah Shin terlihat pucat, tidak merah seperti saat sedang berkeringat seperti yang ia lihat sebelumnya. Apalagi, sekarang Shin juga jadi lebih sering tertinggal di belakang —yang biasanya bisa menyamai dengan langkahnya. Padahal Yul sudah mengurangi durasi langkahnya, lebih lambat dari biasanya.

"Shin..!," Panggil Yul ketika melihat Shin kembali tertinggal. Dan ia melihat Shin merendahkan tubuhnya ke depan, seperti seseorang sedang menahan sakit.

Melihat Shin tidak merespon panggilannya, dan malah menampilkan wajah kesakitan, Yul menjadi panik. Ia segera berlari menghampiri Shin.

"Kamu gak papa?," tanya Yul panik, mengamati wajah Shin yang kian mengeluarkan banyak keringat.

Shin menggelengkan kepala, tapi bukan berarti Yul langsung percaya. Dia tidak percaya. Apalagi melihat Shin yang sedang meremas-remas perut. Yul langsung berpikir, Shin pasti sakit perut.

"Perut kamu sakit?," tanya Yul, ingin menopang tubuh Shin yang condong kedepan, namun ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya. Hingga tangannya hanya bergerak-gerak di udara, tidak menyentuh apapun.

Shin tidak menjawab. Tapi, Yul yakin akan firasatnya itu.

"Masih kuat jalan?," Yul kembali bertanya, agar ia bisa melakukan tindakan selanjutnya untuk menolong Shin.

"Hm"

Yul tidak ingin percaya, dan ingin memaksa Shin untuk mencarikan nya bantuan, tapi Shin sudah lebih dulu mencengkram lengannya dengan satu tangan, untuk dijadikan sebagai pegangan.

"Ayo, teh. Kita lanjut pulang," ujar Shin sedikit terbata-bata saat mengatakannya, karena harus menahan rasa sakit.

"Yakin, kamu kuat?," Yul bertanya kembali sebelum melajukan perjalanan.

"Hm"

Dengan tak berdaya, Yul terpaksa setuju melanjutkan perjalanan. Meski di dalam hatinya ia benar-benar takut dan khawatir. Dan, Yul pun tidak memikirkan dengan lengannya yang dicengkram kuat oleh Shin. Yul hanya terfokus pada Shin yang tengah kesakitan. Ia tidak tega melihat Shin yang seperti ini dan berakhir dengan menyalahkan dirinya sendiri.

Benar saja, kekhawatiran Yul terjadi. Baru beberapa langkah berjalan, Shin sudah berhenti. Dan dia juga, kembali merendahkan tubuhnya, condong ke depan. Sedangkan dirinya tepat berada di depan Shin, membuat kepala Shin tersandar ke bahunya.

Yul terhentak ke belakang. Dengan dia yang sering bekerja keras membuat Yul sigap menahan berat tubuh Shin. Dan, ia pun segera menangkap kedua lengan Shin.

"Tuh kan!," Bentak Yul, karena betapa khawatirnya ia saat ini.

Shin tidak menjawab apapun namun, Yul mendengar Shin mengeluarkan rintihan, membuat Yul semakin yakin bahwa Shin benar-benar membutuhkan pertolongan.

Dengan sekuat tenaga, Yul membawa Shin ke tempat teduh, sambil mencari bantuan lain.

Di samping itu ada Shin yang diam-diam tersenyum di tengah-tengah rasa sakitnya.

Yul berhasil membawa Shin ke tempat yang teduh. Lalu, dengan gerakan cepat, Yul segera membuka sandal untuk dijadikan alas duduk.

"Shin duduk dulu," Perintahnya pada Shin, menyuruhnya duduk di sandalnya.

Shin patuh dan duduk di atas sandal Yul. Sedangkan Yul masih tetap berdiri dan dia sedang melihat sekeliling, untuk mencari bantuan.

Di jam-jam segini Desa sedang dalam sepi-sepi nya, karena di jam segini warga Desa masih berada di sawah ataupun melakukan pekerjaan lain dan akan kembali pada saat sore. Hal tersebut membuat Yul sedikit kesulitan untuk mencari bala bantuan.

Pada saat Yul tengah fokus melihat sekeliling, Shin tiba-tiba meraih tangannya, dan membuatnya spontan melihat ke arah Shin. Namun, Shin sedang menundukkan kepala, terlihat seperti seorang yang sedang menahan sakit. Membuat Yul menjadi tak tega, dan membiarkan tangannya digenggam oleh Shin. Terlebih, ini bukan yang pertama. Sehingga membuat Yul seperti kembali merasakan, bagaimana Shin menggenggam tangannya di hari lalu.

Andai Shin tau, bagaimana perasaannya saat Shin menggenggam tangannya. Ia rasa Shin tidak akan pernah menerima hal itu. Lebih parah nya lagi, Shin tidak akan pernah peduli.

Yul hanya bisa meredam perasaanya dalam diam.

Tidak lama kemudian, Yul menemukan seseorang. Dia adalah seorang yang tengah melintas menggunakan sepeda motor.

Seketika, Yul berlari ke arah tengah jalan untuk menghadang orang itu. Tidak peduli akan keselamatan dirinya, jika orang itu tidak melihatnya sedang menghadang.

"Mang.. Mang.. Mang....!," ujar Yul menghadang orang itu yang sedang membawa sepeda motor dengan laju yang tidak begitu cepat. Lagi pula, sangat jarang menemukan warga Desa membawa kendaraan secara ugal-ugalan. Karena hal itu akan dianggap sebagai tindakan kriminal atau orang yang patut dicurigai sebagai kriminal —Yul merentangkan kedua tangannya.

Melihat seseorang menghadangnya di tengah jalan, orang yang baru saja pulang dari sawah tersebut, akhirnya berhenti.

"Aya naon?/," tanya orang itu pada Yul.( /ada apa?)

"Mang, bisa te pang mawakeun jelema itu ka puskesmas. Kè ku abdi dikulian!!," ujar Yul membuat sebuah kesepakatan, agar orang itu mau membawa Shin ke puskesmas dengan menawari uang. —(/bisa tolong bantuin saya bawa dia ke puskesmas, nanti saya bayar)

Orang itu melihat ke arah yang ditunjuk oleh Yul, lalu setuju dengan penawaran yang diberikan oleh Yul.

Untung saja Yul masih memiliki uang simpanan setelah beberapa hari libur berladang.

Lalu, Yul kembali menghampiri Shin.

"Ayo. Shin kita ke puskesmas," ujar Yul, menjulurkan tangan untuk diraih oleh Shin.

Shin segera meraih tangannya tersebut, namun sebelum berdiri Shin menaruh sepasang sandalnya di depannya.

Tak banyak memikirkan perasaan, Yul segera memakai kembali sandalnya. Lalu, ia membimbing Shin untuk berjalan sedikit untuk bisa naik motor.

"Mang. Tulung nya. Pang mawakeun ka puskesmas. Kè abdi nyusul," ujar Yul menitipkan Shin pada orang itu, karena tidak mungkin baginya untuk naik motor bertiga. Terlebih, Shin tidak akan nyaman dengan hal itu. Dan, dia akan menyusulnya bersama Jaka. Itu lah yang Yul rencanakan.

"Siap!" Orang itu setuju.

Lalu, Yul membantu Shin naik ke atas motor.

"Saha kitu eta, Neng?," tanya orang itu kepada Yul, Shin siapa nya dia. Wajar, jika orang itu bertanya seperti itu, karena banyak sekali kemungkinan ketika melihat situasi seperti itu, apalagi Shin dan Yul adalah orang asing yang orang itu baru saja temui.

Yul lebih dulu membenarkan posisi Shin sebelum menjawab, untuk mendapatkan posisi aman yang nyaman. Namun, pada saat Yul akan menjawab, Shin sudah lebih dulu menjawab.

"Istri saya, Pak"

Hal itu membuat Yul tercengang, tubuhnya sedikit terhentak karena terkejut. Bagaimana bisa Shin menjawab seperti itu. Bukan karena ia tidak suka melainkan, bagaimana carannya untuk tetap tenang di tengah-tengah jantungnya yang berdegup kencang.

"Eh... kalo istri mah. Ikut aja bertiga. Kasian suaminya kalo tinggal sendirian nanti," orang itu pun langsung percaya dengan jawaban Shin, dan mengusulkan Yul untuk ikut bertiga bersama mereka berdua.

"Bu—bu...." Yul ingin mengelak tapi tangannya sudah lebih dulu digenggam.

"Teh..." rengek Shin yang meminta nya untuk ikut.

Yul bingung.. tapi, hatinya kecilnya tidak bisa ia halangi.

"Tenang. Motor Amang mah kuat ku tiluan, gè!" Sela orang itu yang menyatakan motornya kuat untuk dipakai bertiga. Karena motornya tersebut sudah dirancang untuk membawa beberapa karung padi dengan berat yang lumayan.

Mendengar hal itu membuat Yul menjadi semakin tak berdaya, dan ia pun setuju ikut naik bertiga, duduk paling belakang. Membuatnya harus berpegangan kuat pada Shin, jika tidak, ia akan terjatuh nanti.

"Berangkat!"

••••••••••

BUJANG KOTA |TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang