🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️
✨ Happy reading ✨
***
Semburat cahaya jingga kekuningan dari matahari yang akan tenggelam dipandangi oleh mata indah milik perempuan bersurai panjang kecoklatan dari balkon kamarnya. Tidak ada kegiatan lain yang bisa memulihkan rasa lelahnya setelah nyaris satu minggu bergelut dengan kesibukannya di kantor selain mengamati sang surya yang sebentar lagi terbenam.
Secangkir teh hangat dan pisang goreng madu kegemarannya menjadi teman setia menikmati senja di antara kabut polusi kota Jakarta. Jingganya matahari yang indah di waktu senja jarang sekali bisa ia nikmati terkecuali di hari libur. Kesibukannya sebagai seorang Jurnalis muda di sebuah perusahaan media berita swasta membuat Anindya Kirana Hadikusuma selalu melewatkan golden hour-nya anak senja.
Matahari senja untuk Anindya adalah momen mahal yang harus diabadikan. Karenanya saat ini Anindya sudah memegang kamera kepunyaannya dan membidik jingga kesukaannya. Kilau keemasan sang surya terabadikan sempurna di dalam polaroid kecilnya.
Anindya suka menyimpan banyak polaroid di dalam sebuah album. Bila di hitung jumlahnya foto-foto yang berada di album itu nyaris menyentuh angka lima ratus. Anindya kumpulkan foto-foto itu sejak dua tahun yang lalu. Biasanya, Anindya akan menambahkan rangkaian frasa indah untuk hasil potretnya.
"Dalam hidup ini jadilah seperti matahari. Kamu mungkin terbenam hari ini. Namun, ada hari esok untuk kamu terbit lagi. Lebih bersinar dan lebih menyala ..." tulis Anindya pada sisi kosong albumnya.
Dirasa memiliki waktu yang senggang Anindya putuskan untuk melihat halaman demi halaman dari album foto itu. Pada setiap kesempatan liburannya, Anindya selalu memotret setidaknya satu objek untuk menambah koleksinya. Tidak heran rasanya bila di dalam album itu terdapat foto dengan objek yang berbeda-beda. Ada foto yang Anindya ambil ketika ia berada di candi Prambanan, candi Borobudur dan yang paling berkesan adalah foto yang menunjukan kemegahan menara Eiffel yang tinggi, cantik sekali.
Pada halaman terbelakang tempat di mana Anindya menyimpan foto senjanya tadi, ia temukan sebuah foto dengan objek pendopo cantik yang bersinar karena lampu gantung yang begitu menawan. Anindya ingat ia potret foto ini ketika berada di Solo. Tepatnya ketika menemani Eyang putri berkunjung ke salah satu Keraton yang berada di kota Solo.
Rasanya sudah lama sekali Anindya tidak berkunjung ke sana. Sejak usianya sepuluh tahun, Anindya dan keluarga meninggalkan kota Solo dan berpindah ke Jakarta untuk alasan pekerjaan sang Ayah. Kepindahan Anindya ke kota metropolitan itu tentu membawa perubahan besar bagi hidupnya.
Anindya yang sejak lahir bergelar Raden Ajeng bertumbuh sebagai gadis metropolitan yang lebih modern. Ia tidak mengenal bagaimana bersikap layaknya putri keluarga priayi Jawa yang kemayu juga cara berbicara yang mengutamakan krama dan unggah-ungguh yang tertata. Anindya tumbuh jauh dari itu semua selama lima belas tahun lamanya.
Namun, kecintaannya kepada budaya sang leluhur yang kental memunculkan keinginan besar untuk Anindya mempelajari semuanya. Anindya menyukai kebudayaan Jawa, ia suka mengenakan kebaya dan kain batik yang ia kreasikan agar tetap mengikuti trend berpakaian jaman sekarang, suka belajar menulis dan membaca aksara Jawa dan banyak hal lainnya yang ia lakukan sejak kecil. Anindya ingin menjadi perempuan modern yang tidak lupa akan budaya leluhurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mingsra
RomanceSudah menjadi hal biasa untuk keluarga Keraton soal jodoh yang dipilihkan. Tapi, Anindya bukanlah bagian dari mereka yang bisa menganggapnya sebagai hal yang biasa. Meski lahir dengan gelar priyayi Jawa yang dihormati, nyatanya kehidupan Anindya ja...