🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️
✨ Happy reading ✨
***
Banyak sekali hal yang bisa Anindya petik dari pembicaraannya dengan Ngarsa Dalem. Semua kalimat yang Anindya anggap penting sudah ia tulis di buku catatannya. Pengalamannya mewawancari Ngarsa Dalem sungguh menyenangkan. Ditambah lagi ia berkesempatan untuk bisa berkeliling di sekitar Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Namun, sepulang dari Yogyakarta kemarin pikiran Anindya terpusat pada satu kalimat.
Kalimat yang ringan jika menyapa telinga orang lain namun, terasa berat bagi Anindya.
"Biasanya kalau seperti itu, jodohnya sudah disiapkan Mbak."
Disiapkan seperti apa maksudnya, apa itu artinya sama saja dengan sebuah perjodohan. Anindya sudah tanyakan pada Ibu tentang kecemasannya namun, Anindya hanya mendapat sebuah senyuman manis sebagai jawaban gelisahnya. Bukankah zaman sudah berjalan lebih maju, apa perjodohan layaknya Siti Nurbaya masih tetap terjadi.
Yayah dan Ibu adalah manusia modern yang harusnya sudah tidak menyentuh tradisi kuno satu itu. Jika memang 'disiapkan' akan terjadi dalam hidup Anindya, perempuan itu hanya ingin satu hal, kelak suaminya hanya akan milik dirinya. Bukan yang lain.
Tidak ada gunanya memikirkan itu sekarang, Senin masih panjang, pekerjaannya masih sangat banyak. Setelah selesai dengan satu pekerjaannya, Anindya istirahatkan sebentar punggungnya yang terasa begitu nyeri akibat terlalu lama duduk. Anindya sesali satu hal, diusia mudanya harusnya Anindya patuhi perintah Ibunya yang meminta untuk rutin meminum jamu. Anindya yakin hal ini pasti tidak akan terjadi.
Anindya pejamkan juga matanya yang mulai lelah, kacamata yang dikenakan sebagai alat bantu Anindya lepaskan sebentar.
Di kala mata yang begitu nyaman terpejam, Anindya dikejutkan dengan tepukan di bahunya.
"Dooor!"
Anindya tersentak kaget, ia menoleh ke belakang untuk memastikan siapa yang mengejutkannya.
"Astaga Mbak Ayu, ngagetin aja ..." kata Anindya kesal pada Mbak Ayu, rekan kerjanya.
"Kamu melamun aja sih Nin. Mikirin apa sih Raden Ajeng?" Anindya memutar bola matanya malas. "Ada apa Mbak?" tanya Anindya.
"Lo dipanggil Pak Putu, diminta ke ruangannya. Sepertinya ada tugas baru menanti" kata Mbak Ayu.
Setelah mendapat pesan dari Mbak Ayu bahwa dirinya dipanggil oleh sang atasan, Pak Putu, Anindya segera menemui bosnya di ruangan. Tidak ada rasa malas setiap kali ia ditugaskan liputan di luar kota, justru Anindya sangatlah bersemangat.
Anindya ketuk terlebih dulu pintu dengan plakat manager milik atasannya kemudian bergerak masuk ketika menerima izin.
"Selamat pagi Pak."
"Duduk Anindya," pinta Pak Putu.
Anindya duduk berhadapan dengan atasannya, ia menunggu tanpa bicara sampai instruksi selanjutnya Pak Putu berikan.
"Melihat keberhasilan kamu mewawacarai Ngarsa Dalem kemarin saya jadi percaya untuk memberikan tanggung jawab liputan kali ini. Mengingat latar belakang kamu yang juga darah biru." Anindya bergeming, dalam benaknya timbul pertanyaan apakah kali ini ia akan mewawancarai tokoh Keraton lagi.
"Belakangan ini, artikel-artikel tentang kebudayaan Jawa sedang dikulik habis-habisan. Banyak anak muda yang penasaran dengan tradisi Jawa. Setahu saya, tidak lama lagi akan ada prosesi kirab memeringati tahun baru Jawa, kamu pasti tahu itu?" Anindya mengangguk.
"Saya ingin kamu tulis artikel tentang tradisi itu" sambung Pak Putu. Anindya mengangguk mantap. "Baik Pak, kebetulan saya memang akan menghadiri undangan acara satu Suro di Solo."
"Tapi, ada satu lagi." Pak Putu terlihat mencari sesuatu di dalam laptopnya, setelah menemukannya, laki-laki itu menunjukannya pada Anindya.
"Praja Jazz Festival ..." lirih Anindya ketika membaca poster digital yang ditunjukan oleh atasannya.
"Ya. Praja Jazz Festival. Konser musik Jazz yang diselenggarakan oleh Keraton Praja Solo. Akhir-akhir ini saya melihat Praja Jazz Festival menjadi buah bibir orang-orang karena kosep akulturasinya. Saya yakin, event ini adalah sesuatu yang menarik untu diliput."
"Saya sudah membuat janji temu dengan founder-nya untuk wawancara. Tapi, kali ini hanya liputan kecil, kamu pergi sendiri saja. Untuk informasi narasumber dan narahubung akan saya infokan lagi. Bisa?"
Anindya lagi-lagi mengangguk mantap, "Baik Pak, bisa."
Sekali dayung, dua hingga tiga pulau terlampaui. Keberangkatan Anindya ke Solo kali ini bukan hanya untuk mengobati rindu Eyang. Tetapi sekaligus bekerja. Pengalaman baru akan didapatkan, juga relasi yang akan bertambah.
Terkait satu Suro Anindya sudah sering mengikuti prosesinya. Tidak sulit untuk dirinya menuliskan artikel tentang prosesi ini. Kemudian terkait Praja Jazz Festival, ini adalah hal baru yang sangat menarik.
Gagasan yang tidak pernah terpikir. Kental dan sakralnya budaya Jawa yang membuatnya sulit berakulturasi nyatanya bisa di kolaborasikan apik dengan modernisasi seperti musik jazz. Pasti ada orang hebat yang menggagas pertunjukan musik ini, tapi siapa kiranya?
***
"Anin juga nggak nyangka kalau sekarang Keraton Praja seterbuka itu dengan modernisasi Bu." Kinasih tersenyum kecil pada putrinya yang begitu bersemangat bercerita tentang pekerjaannya. Kebiasaan bagi Anindya, sepulang dari kantor wajib baginya untuk menemani sang Ibu meski sekedar minum teh bersama di taman. Namun, kali ini Anindya menemani Kinasih mengemasi pakaian untuk keberangkatannya ke Solo besok hari.
"Peran anak-anak keturunan juga penting dalam memajukan Keraton Nin, kalau hanya mengandalkan generasi tua, Keraton bisa punah tergerus zaman." Anindya mengangguk setuju.
"Ini kebaya siapa Bu?" Anindya salah fokus pada kebaya hitam yang ikut dimasukan Ibu ke dalam kopernya beserta kain jarik berwarna coklat dengan gaya Surakarta. Ibu mengeluarkan kembali kebaya hitam itu dan menunjukannya pada Anindya, "Punya kamu. Ibu baru jahitkan ..."
"Anin pakai yang lama saja Bu, masih muat kok, kenapa harus dijahitkan yang baru?"
Ibu mengusap kepala Anindya sambil tersenyum, anaknya adalah gadis yang sederhana dan sangat bersahaja. "Yayah yang ingin, Ibu menurut saja. Katanya, tahun ini penampilan kamu harus berbeda."
***
Tertanda,
Terang Bulan
03-08-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Mingsra
Любовные романыSudah menjadi hal biasa untuk keluarga Keraton soal jodoh yang dipilihkan. Tapi, Anindya bukanlah bagian dari mereka yang bisa menganggapnya sebagai hal yang biasa. Meski lahir dengan gelar priyayi Jawa yang dihormati, nyatanya kehidupan Anindya ja...