4. Surakarta

1.1K 108 7
                                    

🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton

⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️

✨ Happy reading ✨

***

"Nduk, boleh tolong ambilkan wajan tembikar di gudang belakang. Eyang mau menyiapkan adonan serabinya dulu ..." Anindya gulung rambut ikal panjangnya lalu mengangguk patuh kepada Eyang putrinya.

Sesuai perkataannya pada sang Ayah, Anindya menyusul ke Solo pada hari Jumat sepulang kerja. Bersama Mahesa, ia menaiki kereta api dari stasiun Tanah Abang menuju stasiun Solo Balapan. Mereka berdua tiba di kota Solo ketika hari sudah larut malam.

Di pagi harinya, Anindya sengaja bangun lebih pagi. Bahkan sang mentari masih enggan untuk beranjak dari tempat beristirahatnya. Anindya ingin menikmati semilir sejuk angin kota Solo dari teras rumah sederhana Eyang.

Eyang tidak tinggal di tengah kota Solo, lebih ke pinggiran kota. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit menuju pusat kota. Suasana di lingkungan rumah Eyang sangat asri, tidak banyak bangunan berbahan beton kokoh di sekitar sini. Hanya rumah joglo kayu sederhana dengan ukiran khas Jawa.

Rumah Eyang sendiri merupakan bangunan tradisional semi permanen. Bagian pondasinya terbuat dari beton kokoh sedangkan bagian tembok terbuat dari kayu jati yang tahan terhadap pelapukan. Jauh berbeda dengan rumah yang mungkin Anindya temui di pusat kota Solo, rumah Eyang masih sangatlah sederhana dan tradisional.

Bangunannya terbagi atas sebuah pendopo yang cukup luas, joglo utama yang difungsikan sebagai ruang menerima tamu. Lalu terdapat empat joglo kecil yang dihubungkan oleh lorong-lorong berfungsi sebagai kamar tidur. Di bagian belakang terdapat satu bangunan terpisah yang digunakan sebagai dapur.

Sedangkan letak gudang yang Anindya tuju berada di halaman belakang rumah yang berposisi terpisah. Sehingga Anindya harus berjalan sedikit untuk sampai ke sana.

Anindya membuka pintu gudang dengan sangat hati-hati. Pintu kayu yang sudah tua nampak sangat rapuh termakan usia. Ketika pintu gudang itu terbuka sempurna Anindya sudah disambut dengan sarang laba-laba yang menjuntai di ambang pintu.

Mulutnya sudah tidak bisa diatur untuk tidak mengumpat kasar. Namun, beruntungnya sebelum umpatan itu terucap sempurna, tangan kekar milik Mahesa sudah siap membungkam mulutnya.

"Anj—emmhh"

"Bahasamu Nin, ingat ini rumah Eyang. Bukan Jakarta" ucap Mahesa memeringati.

"Buruan masuk, mau ngambil tembikar kan?" tanya Mahesa, Anindya lantas mengangguk.

Mahesa datang ke gudang karena diminta Eyang untuk menemani Anindya. Tembikar yang akan diambil oleh Anindya cukup berat. Eyang yakin bahwa Anindya membutuhkan bantuan.

Anindya segera masuk ke dalam gudang. Keadaan gudang yang berdebu dan tidak terawat sudah dapat memastikan bahwa ruangan kecil ini tidak pernah mendapat perhatian lebih. Banyaknya sarang laba-laba yang menghiasi dinding gudang menggambarkan entah kapan terakhir kali gudang ini dibersihkan.

Anindya singkirkan beberapa barang yang menghalangi jalannya untuk mengambil tembikar yang terletak di sudut gudang. Berulang kali Anindya harus menutup mulutnya agar tidak mengumpat sembarangan. Meski ia ingin sekali berteriak karena sedari tadi serangga menyebalkan bernama kecoa tidak henti berlalu lalang di kakinya. Anindya tidak tahan berlama-lama di sini.

Setelah menemukan tembikar yang dibutuhkan, Anindya minta pada Mahesa untuk membawanya kepada Eyang. Sedangkan Anindya kembali merapikan gudang lalu menguncinya kembali.

"Sampun dikunci gudangnya Nduk?" tanya Eyang pada Anindya. Seraya mengangguk Anindya kembalikan kunci gudang kepada Eyang.

Wanita tua itu tersenyum pada Anindya. Wajah keriputnya tidak pernah melunturkan cantik alaminya. Meski usianya sudah menginjak kepala enam, Raden Ayu Retno Ningrum masih tampak begitu bugar. Kebiasaannya meminum jamu herbal mungkin menjadi kunci utama.

Eyang Retno masih sangat aktif berkegiatan untuk mengisi masa tuanya. Setelah ditinggalkan suaminya, Eyang mengisi waktu dengan membatik di balai desa bersama lansia lainnya. Hal ini semata Eyang lakukan agar tidak selalu mengingat mendiang suaminya.

"Nanti siang Eyang akan pergi ke Keraton. Kamu mau ikut Nduk?" Eyang bertanya pada Anindya.

Anindya ambil kursi kecil kemudian duduk di samping Eyang yang sedang membuat serabi. Proses pembuatan serabi Eyang masih sangat tradisional hanya menggunakan wajan tembikar dengan arang sebagai bahan bakar. Anindya ambil alih mangkuk adonan serabi dari tangan Eyang lalu menuangkannya pada cetakan.

"Ada undangan apa Eyang?" tanya Anindya penasaran.

"Sowan saja Nduk. Perginya bersama Yayahmu dan Mahesa" tutur Eyang.

"Ibu ikut?" Anindya bertanya pada Kinasih yang juga bersama mereka di dapur.

Kinasih tersenyum dan menganggukan kepalanya, "Ikut Nduk. Sudah lumayan lama kita tidak berkunjung ke sana. Kamu mau ikut Nin?"

Anindya tampak berpikir. Ia ingin sekali bisa ikut ke Keraton, lagipula sudah lama ia tidak berkunjung ke sana. Tapi, pekerjaannya yang menumpuk meski cuti sudah diajukan menahan Anindya untuk pergi.

"Anin maunya ikut Bu, tapi ada pekerjaan yang harus selesai hari ini. Kalau Anin nggak ikut boleh Bu?"

Kinasih melirik Eyang Retno penuh maksud. Eyang kemudian terlihat menganggukan sedikit kepalanya, seperti memberi isyarat pada Ibunya.

"Yasudah kalau memang tidak bisa ikut. Nanti sama Mbok Sum saja di rumah ya ..." kata Kinasih, Anindya mengangguk dan tersenyum senang.

***

Tertanda,
Terang Bulan
03-08-24

MingsraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang