🚫Disclaimer🚫
Semua hal yang tertulis dalam cerita ini adalah fiksi. Tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan dalam lingkungan Keraton⚠️Mohon bijak dalam memberikan komentar⚠️
✨ Happy reading ✨
***
Eyang Retno, Yayah, Mahesa dan Ibu sudah pergi ke Keraton beberapa menit lalu. Sedangkan Anindya di rumah bersama Mbok Sum, asisten rumah tangga Eyang.
Awan sore di Solo tampak kelabu pertanda hujan yang akan segera turun. Dan benar saja tidak lama setelah mobil Yayah keluar dari pekarangan rumah, hujan mengguyur begitu deras. Syahdunya rintik hujan yang mengguyur tanah Anindya amati dari jendela kamarnya.
Bersama penanya yang menari-nari di atas kertas pikiran Anindya berkelana mencari diksi paling indah untuk disatukan menjadi frasa dalam artikelnya. 'Kirab Pusaka Malam Satu Suro' menjadi judul artikelnya saat ini. Anindya sangat fokus pada tulisannya sampai tidak menyadari bahwa ada seseorang yang berulang kali mengetuk pintu kamarnya.
"Mbak Anin ..."
"Astaga Mbok Sum bikin kaget saja."
"Ngapunten Mbak Anin, saya ndak bermaksud mengagetkan. Saya ada bawakan teh manis." Mbok Sum meletakkan segelas teh manis hangat di atas meja Anindya.
"Makasih Mbok."
"Saya ke belakang lagi nggih," pamit Mbok Sum pada Anindya. Namun, belum sempat Mbok Sum membawa langkahnya keluar dari kamar Anindya, gadis itu berseru dengan cukup keras memanggil Mbok Sum.
"Mbok Sum, tunggu sebentar."
"Inggih ... Mbak Anin butuh sesuatu? Biar saya ambilkan" tawar Mbok Sum. Anindya menggelengkan kepalanya pelan sambil tersenyum.
"Mbok Sum duduk dulu, saya mau tanya-tanya," pinta Anindya. Wanita paruh baya itu lantas mengangguk, ia mengambil kursi dan mendudukan dirinya di hadapan Anindya.
Dengan wajah tenangnya Mbok Sum tersenyum menatap Anindya. Menunggu apa kiranya yang akan gadis muda itu tanyakan. Sejak dulu Anindya sangat suka bertanya tentang apapun kepada Mbok Sum, khususnya budaya Jawa di Solo. Dan Mbok Sum akan menjelaskan dengan sangat telaten agar bisa Anindya pahami.
"Mbok Sum tahu siapa Gusti Pangeran Haryo Arjuna Reksa Yudhanegara?" tanya Anindya. Mbok Sum mengangguk tanda tahu, "Inggih, saya tahu Mbak" jawabnya.
"Beliau itu anak kedua Kanjeng Gusti" jelas Mbok Sum.
"Ada apa toh Mbak Anin, kenapa tiba-tiba bertanya tentang beliau?"
"Besok saya harus datang ke Keraton untuk mewawancarai beliau. Saya sedikit asing dengan namanya, tidak pernah bertemu dengan orangnya juga" kata Anindya.
Mbok Sum tampak diam sebentar karena menyimak perkataan Anindya. Setelah Anindya selesai baru Mbok Sum menimpali. "Mungkin Mbak Anin lupa, Gusti Arjuna memang sudah tidak tinggal di Solo lagi dalam beberapa tahun terakhir. Setahu saya, Gusti Arjuna sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Karenanya jarang terlihat di Keraton." Anindya hanya ber-oh ria sebagai responnya kepada Mbok Sum.
Mengenai Arjuna Reksa Yudhanegara, Anindya baru tahu namanya ketika atasannya mengirim sedikit informasih mengenai narasumbernya besok hari. Anindya baru tahu bahwa pemimpin Keraton Praja, yang biasa Anindya panggil dengan sebutan Kanjeng Gusti itu memiliki satu anak laki-laki lagi. Karena seingatnya, Kanjeng Gusti hanya memiliki satu anak laki-laki dan satu anak perempuan bungsu yang Anindya kenal namanya. Tapi ternyata salah.
Anindya bertanya banyak hal lainnya pada Mbok Sum juga. Mengenai bagaimana tradisi satu Suro yang menjadi bahasan artikelnya dan lain-lain.
Sampai tidak terasa derasnya air hujan yang turun dari langit mulai mereda, berganti dengan jingga keemasan matahari yang akan tenggelam. Anindya tutup jendela kamarnya rapat karena kata Eyang wajib hukumnya menutup semua akses masuk ke dalam rumah ketika matahari akan tenggelam. Pamali katanya.
***
"Nduk ... sudah tidur?"
Anindya yang berbaring di kasur kini terjaga kembali ketika mendengar panggilan dari Eyang. Ia berjalan ke arah pintu dan membukanya.
"Ada apa Eyang?"
"Boleh Eyang masuk? Eyang ingin bicara sebentar." Anindya lantas mundur beberapa langkah tanda ia mempersilahkan Eyang untuk masuk ke dalam kamarnya.
Wanita itu duduk di tepi kasurnya dengan tenang. Anindya menyusul di sebelahnya. "Ada apa Eyang?" tanya Anindya.
Eyang mengeluarkan kotak kayu kecil lalu meletakkannya di tangan Anindya. Kotak itu seperti tempat untuk menyimpan perhiasan. Pada bagian penutupnya terdapat ukiran cantik yang mengelilingi. Bagian tengahnya juga diukir dengan indah sebuah tulisan aksara Jawa.
Anindya tidak terlalu pandai membaca huruf aksara jadi ia tidak tahu pasti apa arti tulisan tersebut. Anindya memerhatikan kotak itu dengan seksama. "Ini apa Eyang?" tanya Anindya bingung.
Eyang tersenyum kemudian berkata, "Ini gelang punyamu, sudah lama sekali Eyang simpan untuk diberikan kepada kamu saat waktunya tepat" jelas Eyang.
"Usiamu sekarang sudah mau dua puluh lima tahun toh, sudah siap dan matang. Berarti sudah saatnya gelang punyamu ini Eyang serahkan."
Anindya buka kotak itu dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat gelang emas cantik dengan permata kecil di tengahnya. Pada bagian dalamnya ada tulisan namanya yang diukir indah.
"Kata Mbok Sum, kamu akan pergi ke Keraton besok. Dipakai ya Nduk ..." pesan Eyang.
Anindya patuh saja, meski ia tidak tahu maksud tersirat Eyang tadi. Anindya tidak tahu makna gelang itu. Kenapa gelang itu harus diberikan ketika umurnya cukup dan kenapa Anindya harus memakainya besok. Yang Anindya tahu, gelang ini adalah pemberian Eyang yang harus ia pakai sebagai tanda hormat dan patuhnya kepada Eyang.
***
Tertanda,
Terang Bulan
10-08-24
KAMU SEDANG MEMBACA
Mingsra
RomanceSudah menjadi hal biasa untuk keluarga Keraton soal jodoh yang dipilihkan. Tapi, Anindya bukanlah bagian dari mereka yang bisa menganggapnya sebagai hal yang biasa. Meski lahir dengan gelar priyayi Jawa yang dihormati, nyatanya kehidupan Anindya ja...